REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kesulitan utama dalam usaha berhenti merokok adalah minimnya motivasi untuk berhenti. Kondisi itu bisa ditanggulangi apabila seseorang yang ingin berhenti turut ambil bagian dalam terapi yang melibatkan individu lain yang juga sedang berupaya menghentikan kebiasaan itu.
Psikiatri RS Ciptomangun Kusumo, Jakarta, Dr. Slyvia. D Elvira, SpKJ (K), mengatakan kehadiran seseorang yang berniat berhenti merokok akan memunculkan sikap persamaan nasib. Persamaan ini secara otomatis menciptakan motivasi bagi individu untuk berhenti.
"Jangan lupa, adanya contoh konkrit bisa menjadi pendorong lho," kata dia kepada republika.co.id, seusai menghadiri peresmian Klinik Stop Rokok, Rumah Sakit Sahid Sahirman, Sudirman, Jakarta, Rabu (13/7).
Sylvia mengatakan persamaan nasib dan kehadiran contoh konkrit sosok yang berhasil berhenti merokok, selanjutnya menjadi dasar tata laksana terapi kelompok dalam paket terapi merokok. Menurut dia, sulit bagi individu untuk menjalani terapi tanpa kehadiran individu dengan persoalan yang sama. "Makanya, di barat, segala macam terapi pasti menyisipkan terapi kelompok dalam proses penyembuhan," kata dia.
Sebagai gambaran, papar Sylvia, dalam terapi berkelompok diagendakan materi berbagi pengalaman dan cerita individu yang tengah berusaha berhenti merokok. Pengalaman dan cerita itu selanjutnya menjadi bahasan dari para peserta.
Beberapa pembahasan misal, apakah langkah yang dilakukan sudah tepat atau belum. Lantas apa langkah selanjutnya. "Solusinya lantas muncul sendiri dari dalam pemikiran individu yang bersangkutan," kata dia.
Sementara, tugas psikolog, lanjut Sylvia, hanya mengarahkan dan memediasi. Sesekali, psikolog memberikan solusi apabila ada semacam kompleksitas yang dialami individu.
Kompleksitas yang dimaksud adalah persoalan yang belum bisa ditemukan solusinya oleh individu yang mengikuti terapi. "Prosesnya sederhana sekali," kata dia.
Namun, kata Sylvia, terapi kelompok ini membutuhkan komitmen yang kuat. Sebab, tidak mudah bagi individu untuk mengikuti. Apalagi, diawal individu cenderung menganggap remeh keberadaan terapi kelompok. "Komitmen akan membuat proses lebih mudah," kata dia.
Dr. Aulia Sani Sp.JP (K), FJCC, FIHA, FasCC, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari RS Sahid Sahirman, Jakarta mengatakan proses penyembuhan berintikan usaha untuk merubah gaya hidup. Kebiasaan merokok yang diubah merupakan upaya efektif untuk menghentikan kebiasaan itu. "Nah, konsistensi dan menyeluruh merupakan modal yang harus dimiliki setiap pribadi yang hendak sembuh," kata dia.
Dalam kasus terapi kelompok misalnya, keberhasilan individu tidak terlepas dari konsistensi yang dimaksud. Sebab, efektivitas kehadiran orang lain juga harus diikuti dengan kesadaran diri.
Ketika pribadi sudah komitmen maka prosesnya akan mudah. "Saya melihat persoalan ini yang paling mengganjal," kata dia.
Menyambung soal minimnya keberadaan terapi kelompok di Indonesia, Sylvia mengatakan kondisi itu tak lepas dari anggapan remeh masyarakat soal berhenti merokok. Menurut dia, tak sedikit individu yang mengatakan proses berhenti merokok bisa dilakukan sendiri.
"Persoalanya bagi individu lain mungkin bisa, tapi tidak semuanya. Ini kan persoalan situasi yang harus dibuat kondusif agar proses penyembuhan bebas dari faktor pengganggu."