REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Nyeri dada nampaknya menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data, sedikitnya 40 persen masyarakat Indonesia yang mengalami nyeri dada meninggal dunia.
''Bahkan nyeri dada bisa menyebabkan kematian dalam waktu singkat,'' ujar Nahar Taufiq, staf pengajar Fakultas Kedokteran UMY saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Continuing Education (CME) ke-33 di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (10/3) kemarin.
Menurutnya nyeri dada merupakan keluhan yang sering ditemukan pada unit perawatan akut atau gawat darurat. “Penyebab nyeri dada umumnya berasal dari gangguan jantung, saluran cerna, musculoskeletal dan gangguan paru serta saluran napas” jelasnya.
Dikatakannya, pada umumnya penangan nyeri dada pada penderita yang datang ke ruang gawat darurat tetap sama sesuai standar. Namun kata dia, dalam waktu 10 menit penderita sakit dada sudah harus dibedakan dalam empat kategori penanganan agar pasien bisa tertolong.
Menurutnya, dalam sepuluh menit pertama penderita nyeri dada sudah harus diketegorikan dana empat klasifikasi penanganan.Klasifikasi pertama adalah kategori P (Priority Rsik), kategori A (Advance Risk), kategori I (Intermediate Risk), dan kategori N (Negatif/Low Risk).
Setiap kategori, kata dia memiliki alur penanganan sendiri sendiri. “Penderita dengan kategori P adalah penderita dengan gejala sakit dada angin yang khas infarks disertai satu dari kriteria infarks dalam rekaman EKG," terangnya.
Sedangkan untuk kategori A, kata dia, terjadi sakit dada lebih dari 20 menit dan akut infark miokard dalam empat minggu terakhir serta adanya gangguan hemodinamik. Pada kategori I besar kemungkinan terjadi kematian atau infark miokard dalam 30 hari setelah nyeri dada sebesar 4-8 persen dan memiliki gejala seperti pada kelompok A sedangkan untuk kategori N kemungkinan terjadi kematian atau infark miokard dalam 30 hari adalah kurang 2 persen dengan pemberian aspirin nitrat sublingual.
Sementara itu Ardi Pramono, Dekan FKIK UMY menambahkan bahwa seminar CME ini telah memasuki angkatan ke-33 dan diselenggarakan mengikuti rangkaian pelantikan sumpah dokter baru. “CME atau Continuing Medical Education adalah salah satu wahana pembelajaran kepada para dokter tentang perkembangan mutakhir dunia medis” tambahnya.
Ardi berharap adanya CME diharapkan mampu memberi kontribusi terhadap pengetahuan para dokter dengan pendekatan ilmiah langsung dari narasumber ahli. “Acara ini juga sekaligus sebagai wahan menerapkan jiwa entrepreneur dibidang kedokteran atau medicalpreneur,'' ujarnya.