REPUBLIKA.CO.ID, Idealnya, hamil dan memiliki anak dialami oleh wanita yang sudah 'cukup umur' dan telah bersuami. Tapi nyatanya, dunia ini memang tak selalu ideal. Lantaran sesuatu hal yang biasa disebut 'kecelakaan' kadangkala seorang remaja terpaksa menikah dan punya anak.
''Yah bagaimana lagi, daripada menanggung malu,'' begitu biasanya ucapan pasrah para orangtua yang terpaksa menikahkan anaknya di usia dini. Namun persoalan tak selesai hanya sampai di sini. Mengapa begitu? Tak lain karena pernikahan dan kehamilan di usia remaja membawa risiko yang tidak kecil, baik dari sisi medis maupun psikologis.
''Masalah kehamilan remaja apakah sudah nikah atau belum, secara biologis maupun sosial mempunyai dampak yang tidak baik pada si ibu maupun si anak,'' kata Deputi Kesehatan Reproduksi dan Remaja BKKBN Dr Siswanto Agus Wilopo.
Mengapa kehamilan remaja cenderung meningkat? Menjawab pertanyaan ini Siswanto menjelaskan bahwa dari aspek sosial budaya, di desa-desa umumnya orangtua yang mempunyai anak perempuan ingin segera menikahkan anaknya. Di samping itu, dengan perkembangan biologis yang semakin baik terutama karena perbaikan gizi dan adanya rangsangan terhadap organ reproduksi yang lebih terbuka, ada kecenderungan anak remaja haid lebih awal. ''Dalam waktu 20 tahun terakhir ini rata-rata usia menarche (menstruasi yang pertama kali) sudah lebih awal dua tahun, misalnya dulu menarche baru mulai usia 15 tahun, sekarang anak usia 12 tahun sudah mengalami menarche.''
Selain itu, anak remaja sekarang cenderung memiliki masa subur yang relatif lebih panjang. Hal ini, kata Siswanto, terkait dengan masalah birahi, baik pada laki-laki maupun perempuan. ''Akibatnya bagi mereka yang tidak bisa membendung keinginan reproduksinya, terpaksa punya anak walau belum siap.''
Lebih jauh Siswanto menerangkan, kehamilan pada remaja mengundang risiko terhadap si ibu juga anaknya. Ibu yang hamil saat remaja cenderung mengalami anemia (kurang darah) berat. Ini karena sebelum hamil pun, remaja (sekitar 40-50 persen) sudah anemia. Dan asal tahu saja, ibu hamil yang anemia, kesehatannya akan terganggu. ''Misalnya saja napsu makannya atau ngidamnya menjadi lebih berat, kondisi fisiknya juga akan lemah, dan lain-lain.'' Selain itu, kalau dia melahirkan, kemungkinan terjadi perdarahan lebih besar. Begitu pun anak yang dilahirkan, ada kemungkinan lahir prematur atau memiliki berat lahir rendah.
''Di bidang kedokteran sudah diketahui apabila janin lahir prematur atau berat lahir rendah itu kemungkinan terjadi perdarahan besar,'' kata Siswanto. Dari fenomena secara umum saja, perdarahan post partum (segera setelah bayi lahir) menjadi penyebab kematian ibu secara menyeluruh. Resiko ini (perdarahan) juga ditanggung oleh para remaja. Untuk diketahui, risiko meninggal pada ibu yang hamil muda/remaja lebih tinggi yaitu 4-6 kali dibandingkan ibu yang berusia 20-30 tahun.
Belum lagi jika kehamilan itu terjadi di luar nikah di mana seorang remaja cenderung untuk menggugurkannya (aborsi). Padahal aborsi sama sekali bukan solusi yang aman. Data menunjukkan, kontribusi aborsi terhadap kematian ibu mencapai lebih dari 13 persen.
Dijelaskan Siswanto, aborsi memiliki banyak efek samping. Jika dilakukan dengan cara kuret dan tidak hati-hati, bisa merusak leher rahim. Dan ini bisa membuat si remaja tadi tidak bisa mempunyai anak karena serviks (leher rahim) membuka terus sehingga ia akan mudah sekali mengalami keguguran.
Masalah yang tak kalah berat juga akan muncul jika si remaja putri hamil dalam kondisi rumah tangga yang belum siap. Bukan tak mungkin, dia akan kekurangan gizi. Dan jelas sekali hal ini akan berisiko terhadap janin yang ia kandung. Jika si ibu kurang gizi, hampir bisa dipastikan janin pun tidak akan tumbuh dengan baik.