Ahad 10 Feb 2013 16:29 WIB

Amankah Mengkonsumsi Pemanis dan Pengawet?

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Makanan mengandung gluten (ilustrasi)
Foto: FITNESS MALAYSIA BLOGSPOT
Makanan mengandung gluten (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Maraknya sosial media membuat arus informasi semakin deras di tingkat konsumen. Kini siapa saja dimana saja bisa mendapatkan segudang informasi mengenai apa saja termasuk dalam hal ini mengenai industri makanan dan minuman (mamin). Broadcast message yang tersebar misalnya, tak jarang memberitahukan bahwa ada kandungan makanan tertentu yang akan berbahaya bagi kesehatan. Sosial media seperti blog pun tak jarang memuat isu mamin. Seorang blogger bebas memposting informasi apapun dalam situs pribadinya. Terlebih blogger tidak mempunyai tanggung jawab untuk keakuratan informasi.

Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM) mengatakan sebagian besar isu yang muncul mengenai Bahan Tambahan Pangan (BTP) sebagai bahan berbahaya. Dua BTP yang paling populer terutama pengawet dan pemanis. Isu-isu lainnya antara lain susu formula melamin, daging sampah, bakso mengandung boraks dan tahu berformalin. "Masalah BTP masih selalu muncul dan menggangu kenyaman masyarakat sebagai konsumen, pedangang dan produsen,"ujar Ketua Umum PIPIMM, Suroso kepada ROL.

Penyebar informasi bahkan tak ragu menyebutkan lembaga dengan reputasi tinggi untuk mendukung argumentasinya seperti World Health Organization (WTO), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Padahal hanya BPOM dan Dinas Kesehatan yang mempunyai wewenang untuk mengumumkan hasil penelitian di Indonesia khususnya mengenai Kemananan Pangan (Food Safety). BPOM pula yang mengeluarkan izin pengedaran produk mamin untuk industri besar, sedangkan Dinas Kesehatan mengeluarkan perizinan tentang sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT).

BTP yang diperoleh dengan cara ekstraksi dari sumber daya alam ataupun sintesis harus melalui kajian keamanan secara ketat. UU RI Nomor 18 Tahun 2012 Pasal 74 (1) tentang pangan menyatakan pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang kan digunakan sebagai BTP yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan izin peredaran. Penggunaan BTP dalam dosis tertentu dibolehkan untuk mempengaruhi sifat dan/atau bentuk pangan.

Penggunaan BTP kembali ditegaskan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 033 Tahun 2012. BTP yang digunakan dalam pangan harus memenuhi sederet persyaratan. Prasyarat tersebut yaitu tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang sengaja ditambahkan untuk tujuan teknologis dan tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.

Permenkes yang sama pun menggolongkan BTP dalam 27 golongan termasuk pemanis (sweeteners) dan pengawet (preservative). Sementara itu terdapat 19 golongan bahan yang dilarang sebagai BTP termasuk asam borat dan senyawanya (boric acid) dan formalin (formaldehyde). "Jadi ada bahan tambahan pangan dan bahan berbahaya. Harus dibedakan," ujar  peneliti dari Departmen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB Purwiyatno Hariyadi.

Lebih jauh, di Uni Eropa suatu bahan diizinkan pemakaiannya sebagi BTP setelah dikaji oleh panel ahli seperti European Food Safety Authority (EFSA). Pengkaji lain yang juga dipakai yaitu Codex Alimentarius Comission yang ditunjuk oleh komite ahli di bidang pangan termasuk WHO dan FAO.  Bahan yang lulus uji akan diberikan kode tertentu dan dipublikasikan dalam website. Pengujian ini juga menentukan jumlah yang dianggap aman untuk dikonsumsi setiap hari tanpa adanya pengaruh negatif terhadap kesehatan.

Di Indonesia, malpraktek pangan paling banyak ditemukan di industri rumahan. Faktor ekonomi dijadikan alasan untuk menggunakan bahan berbahaya dibandingkan membeli BTP. Apalagi efek yang ditimbulkan kemungkinan baru terlihat 10 tahun mendatang. Razia yang dilakukan BPOM pun tidak memperoleh hasil yang signifikan. Kebanyakan pelaku pelanggaran hanya dikenai tindakan pidana ringan.

Informasi yang keliru dalam industri mamin sering menimbulkan kepanikan pada konsumen untuk mengkonsumsi produk yang diisukan. Tak sedikit distributor dan retail yang ketakutan dengan aksi sweeping terkait isu mamin yang beredar di masyarakat. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahamta mengingatkan masyarakat agar tak lekas percaya dengan isu mamin, khususnya yang tidak disertai dengan surat edaran dari BPOM. "Bisa saja ini merupakan strategi dalam persaingan usaha, siapa tahu?," katanya, Ahad (10/2).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement