REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Tjandra Yoga Aditama mengatakan hingga saat ini belum diketahui sumber penularan flu burung varian baru H7N9 kepada manusia.
Meskipun virus ini ditemukan pada unggas/burung, Tjandra menuturkan, dari hasil analisis genotype virus memperlihatkan kemampuan adaptasi pada mamalia.
"Virus H7N9 mampu beradaptasi pada sel mamalia dan tumbuh pada temperatur normal mamalia yang lebih rendah dibanding temperatur unggas/burung," kata Tjandra.
Tjandra menjelaskan virus influenza A H7 adalah virus yang bersikulasi pada unggas/burung dan merupakan salah satu sub kelompok sari virus H7.
Beberapa virus H7 seperti H7N2, H7N3, dan H7N7 pernah menginfeksi manusia. Pada tahun 1996-2012, dilaporkan H7N2, H7N3, dan H7N7 menginfeksi manusia di Belanda, Italia, Kanada, Amerika, Meksiko, dan Inggris. Kebanyakan terjadi di daerah yang terkait dengan peternakan.
"Tetapi H7N9 ini yang belum pernah dilaporkan sebelumnya pada manusia hingga Cina melaporkan kasusnya saat ini," kata Tjandra.
Menurut Tjandra, hampir semua gejala klinis pada H7N9 berupa demam, batuk, dan nafas pendek. Dari data WHO per 13 April 2013, total kasus H7N9 mencapai 51 kasus dengan rincian 11 meninggal, 29 gejala klinis berat, dan 10 lainnya gejala ringan. Mereka yang terinfeksi berasal dari tiga provinsi (Anhui, Jiangsu, dan Zhejiang) dan dua kota (Beijing dan Shanghai). Jumlah tersebut meningkat dari tanggal 11 April yang mencapai 28 kasus.
Monitoring ketat terhadap lebih dari 1000 kontak kasus , Tjandra menuturkan, saat ini masih terus dilaksanakan oleh CDC Cina untuk mengetahui jika ada kontak yang sakit dan yang memiliki gejala yang sama dengan kasus konfirmasi. Beberapa dari kasus konfirmasi memiliki riwayat kontak dengan unggas yang mengandung virus tersebut.