REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Lingga Permesti Wartawan Republika
Rosmayati (40 tahun) adalah seorang guru kelas dua di Sekolah Dasar Banjarsari Kota Bandung. Di awal pertemuan kelas, ia terheran-heran melihat ulah kedua anak didiknya, Naufal dan Krisna.
Keduanya tak pernah bisa diam di kursinya masing-masing. Setiap kali ia menuliskan pelajaran di papan tulis, kedua anak tersebut maju sampai ke depan papan tulis. Sontak murid-muridnya yang lain protes. Beberapa guru juga menanggap mereka hanya mencari perhatian.
"Mereka benar-benar menulis di depan papan tulis dan menghalangi murid-murid untuk melihat tulisan," ungkapnya kepada Republika.
Rosmayati termasuk guru yang sabar. Ia ingin membuat anak didiknya itu berubah. Segala cara sempat dilakukannya, mulai dari menegur hingga memanggil orang tua keduanya.
Titik terang diperoleh Rosma, setelah ia bertanya apa yang diinginkan kedua anak tersebut. Noval, kata dia, mengaku tulisan sang guru seperti semut, terlalu kecil bagi mereka.
Ternyata, kedua anak tersebut menyandang penyakit kurang penglihatan yang dalam istilah kedokteran disebut Low Vision (Lovi). Biasanya, penyandang Lovi ini hanya mempunyai sekitar 30 persen kemampuan penglihatan jika dibandingkan dengan orang yang normal.
Kasus anak seperti ini, kata Rosmayati, telah banyak ditemukan. Tetapi, para guru dan orang tua hanya menanggap anak tersebut mencari perhatian. Akhirnya, Rosmayati menelepon orang tua anak dan mengkonsultasikannya. Padahal, kata Rosmayati, dengan pengobatan lebih dini, kedua anak muridnya itu ternyata memiliki kemampuan yang sama dengan teman-teman lainnya.
"Sebagian besar, orang tua dan guru tidak menyadari bahwa anak mengalami Lovi,"ungkapnya.
Begitu pula yang dialami oleh salah satu finalis ajang pencarian bakat penyanyi cilik di salah satu stasiun televisi swasta, Joan Bagas. Ia mengaku selalu diejek teman-temannya ketika di sekolah. Ia diejek karena dianggap sering mondar-mandir di kelas. Saat mengisi kegiatan Lovi, Joan kepada Republika mengatakan, tidak akan putus harapan karena menyandang Lovi. Lihatlah Joan, ia justru dapat berprestasi, sama dengan anak-anak normal lainnya.
Hal ini pula yang terjadi pada salah satu penyandang Lovi yang sukses di kehidupannya. Ia adalah Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra Bambang Basuki. Meskipun menyandang Lovi dalam hal ini adalah glaukoma, Bambang dapat lulus dari perguruan tinggi dan mampu mengembangkan potensi diri layaknya orang awas.
Baginya, menyandang glaukoma tak menjadikan dunianya sempit. Justru, ia bertekad menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Bambang yang sukses dengan yayasannya itu, juga memperoleh penghargaan Google Innovate 2013 atas inspirasi dan inovasi dalam membuat karya yang dapat digunakan untuk orang dengan kebutuhan khusus, totally bllind dan Lovi.
"Saya mengubah sesuatu hal yang hanya dapat dilihat menjadi sesuatu yang dapat didengar. Misalnya dengan perpustakaan online untuk penyandang Lovi,"kata dia.
Menurut penyandang Lovi sekaligus Ketua LSM nirlaba peduli Lovi Syamsi Dhuha Foundation, Dian Sharif mengatakan, perlu berbagai sesi motivasi dan pelatihan bagi para anak berkebutuhan khusus beserta keluarga dan guru. Tak lupa, kata dia, perlu pendampingan dan penelitian unruk meningkatkan kualitas hidup anak berkebutuhan khusus Lovi ini.
"Bukan berarti terbatas indranya namun terbatas karyanya. Kita harus terus mendorong mereka agar menjadi insan-insan yang mandiri,"kata dia kepada Republika.
Perlu Edukasi Dini
Dian melanjutkan, banyak dari penyandang Lovi tidak menyadari kondisinya. Padahal jumlah penyandang di seluruh dunia enam kali lebih banyak dari Tubercolosis yakni 245 juta orang. Yang perlu dilakukan, ungkap Dian, adalah memfasilitasi penyandang Lovi dengan alat bantu dan pelatihan kemandirian yang produktif.
Sehingga tepat kiranya apa yang diungkap Dekan Fakultas Kedokteran Unpad, Tri Hanggono, bahwa seluruh pihak baik masyarakat, tenaga medis, pemerintah pusat maupun daerah bertugas untuk meningkatkan kepedulian sampai ke penanganan medis kebutaan.
"Angka low vision dan kebutaan di Indonesia termasuk paling tinggi di dunia, nomor dua setelah Ethiopia. Padahal sebetulnya, 80 persen dari kebutaan itu dapat dicegah asalkan masyarakat mengerti mengenai pengenalan dan deteksi dini gangguan mata,"kata dia.
Salah satu ahli mata dari Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, dr. Ine Renata Musa, Sp.M. mengatakan, lovi merupakan gangguan penglihatan dan lapang pandang menetap setelah melalui tindakan pengobatan dan atau operasi yang maksimal. Penyebabnya bisa katarak, kelainan refraksi, glaukoma, kelainan kornea, retina, saraf mata, dan efek samping obat tertentu.
Meski jumlah penyandang Lovi cukup besar, ini berarti bukan tak dapat dicegah atau diobati. Misalnya dengan pengobatan, operasi atau mengoreksi kacamata standar atau lensa kontak dan alat bantu lainnya seperti kaca pembesar, teropong, dan lain-lain. Edukasi dan sosialisasi juga penting dilakukan. Orang tua dan guru perlu mendeteksi dini kelainan penglihatan terutama pada anak. Menurut Ine, lihat bagaimana si anak membaca, apakah sangat dekat atau tidak.
"Biasanya, penyandang Lovi sulit untuk membaca di tempat duduknya, kalau berjalan sering tersandung, bola matanya bergerak terus keluar dan ke dalam, dan kalau bertatapan mata tidak bisa lurus,"ungkapnya.
Selain mendeteksi dini, guru juga harus melakukan upaya pencegahan. Diantaranya, guru harus memodifikasi dan merotasi tempat murid-murid belajar. Misalnya, setiap berapa bulan sekali, anak-anak yang duduk di paling belakang dirotasi ke depan, samping kanan atau kiri.
Murid usia sekolah dasar penyandang Lovi, kata pemerhati Lovi dari Disdik Jawa Barat Asep Budiawan, tidak harus di sekolahkan di SLB. Kerjasama yang baik antara guru, orangtua, dokter spesialis mata dan rehabilitasi professional Lovi sangat dibutuhkan untuk menciptakan suasana belajar yang Lovi friendly.
Sementara di rumah, ujarnya, media belajar harus menonjolkan kekontrasan warna. Semisal, meja berwarna hitam, kaki-kakinya harus putih. Juga misalnya anak punya pensil warna, jangan lupa diberi tanda kalau huruf b berarti biru misalnya. Kekontrasan ini, kata Asep, dimaksudkan untuk mencegah dan menangani kesulitan yang dialami penyandang lovi. Pencahayaan, warna kontras, jarak dan posisi yang tepat dibutuhkan oleh penyandang Lovi selain pelatihan orientasi dan mobilitas, stimulasi dini, dan pelatihan untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
"Hal ini agar penyandangnya dapat mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan dapat turut berperan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sebatas kemampuan mereka,"ungkapnya.
Kepala Dinas Pendidikan Jabar Wahyudin Zarkasyi mengatakan, dengan edukasi dini, diharapkan para guru SD, TK, dan orang tua dapat lebih paham dalam deteksi dini anak-anak yang Lovi juga penanganan serta rujukan yang tepat. Pihaknya juga mendukung pelatihan-pelatihan tersebut karena sesuai dengan program Disdik yang sedang mengembangkan program sekolah Inklusi, yaitu sekolah yang terbuka bagi siapa saja termasuk anak berkebutuhan khusus.
Kemendikbud melalui Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar (PPKLK) Dikdas terus melakukan berbagai upaya untuk anak berkebutuhan khusus memiliki kecakapan hidup. Direktur PPLK Dikdas Mudjito mengatakan, Kemendikbud pada saat ini merehabilitasi ruangan pembelajaran juga membangun banyak unit sekolah baru.
Pihaknya pada 2012 misalnya, telah mengalokasikan sejumlah anggaran untuk rehabilitasi ruang sebanyak 2.111. Pemerintah, kata dia, juga terus memberikan beasiswa dan bantuan belajar kepada ABK serta pengembangan pusat layanan autis dan keberbakatan.
Data terakhir di Direktorat PPKLK Dikdas tercatat jumlah sekolah inklusif dan siswa yang mengikuti program bertambah dua kali lipat dalam satu terakhir terakhir menjadi 2603 sekolah dengan jumlah siswa ABK sebanyak 46.783 anak.
Pemerintah, kata dia, menjamin kesamaan hak pendidikan bagi anak dalam kondisi apapun. Konsep pendidikan inklusif cukup efektif dalam hal membiasakan anak berkebutuhan khusus untuk membaur dengan masyarakat. Serta, meningkatkan kepedulian masyarakat tentang pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
"Anak berkebutuhan khusus perlu dibekali oleh keterampilan khusus yang memadai untuk menjadikan bekal hidup mereka dikemudian hari. Layanan pendidikan keterampilan khusus yang sesuai dengan kondisi anak berkebutuhan khusus sangatlah diperlukan,"kata dia.