REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pernah berkontemplasi tentang kematian? Bagaimana rasanya? Apa kita kaget jika itu berpotensi memperbaiki kesehatan mental? Dalam ulasannya 11 April lalu, majalah Conservation melaporkan sejumlah studi psikologi tentang efek kontemplasi kematian.
Seorang profesor psikologi dari Skidmore College New York mengungkapkan kesadaran atas kematian secara acak akan membuat kita menyadari bahwa peran manusia tidak lebih signifikan dari sebuah kentang atau seekor kadal.
Ketidaktahuan akan kematian juga menjadi yang paling menakutkan. Profesor bidang psikologi Universitas Texas, James Pennebaker, membuat studi dengan meminta para relawan untuk menuliskan momen paling emosional atau menakutkan setiap pekannya. Secara umum studi Pennebaker menunjukan adanya peningkatan kesehatan mental para relawan. Pengalaman yang dituliskan menjadi lebih berharga dan bermakna.
Puluhan studi ekonomi dan psikologi menunjukkan sesuatu yang terbatas akan terasa lebih bernilai. Menuliskan tentang kematian membuat manusia menyadari batasan hidup yang sering diabaikan. Secara teori ini membuat manusia lebih menerima hidup.
Psikolog klinis, Irvin Yalom, juga menuliskan laporan tentang kontemplasi kematian yang membawa dampak positif terhadap kesehatan psikologis. Yalom menyimpulkan orang yang menyadari akan menghadapi kematian memiliki kehidupan yang lebih otentik.
Selama sepekan dalam lima hingga 10 menit Ia meminta mahasiswanya merenungkan jika hidup mereka lebih singkat. Apa yang mereka rasakan dan apa dampak yang mereka rasakan secara umum?
Yalom mendapati dua kelompok, emosi positif dan negatif tentang bagaimana para partisipan memandang diri mereka sendiri. Secara spesifik, partisipan mengalami peningkatan motivasi internal dan merasa bebas dari tekanan eksternal. Menuliskan kontemplasi kematian juga disimpulkan dapat meningkatkan kemampuan memaafkan dan menekan hasrat menyakiti.