REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seperti halnya pada orang dewasa, pendampingan dan pengobatan bagi anak-anak pengidap HIV/AIDS juga memerlukan kontinuitas. Baik itu dari segi penyediaan obat ARV (Antiretroviral) untuk anak, pemeriksaan kesehatan secara berkala, hingga pendampingan psikologis.
Advokasi dan Psikosial Manager Lentera Anak Pelangi, Natasya Evalyne Sitourus, mengatakan pengobatan bagi anak yang hidup dengan HIV/AIDS masih menghadapi kendala. Di satu sisi, pengobatan dengan menggunakan ARV harus dilakukan.
Di sisi lain, kata dia, pola pengobatan yang ada masih mengalami hambatan dan masalah. Sehingga, penanganan pada anak yang hidup dengan HIV/AIDS masih belum optimal.
Pada usia yang masih tergolong kecil, anak pengidap HIV/AIDS harus terus menelan obat. Sementara itu, ketidaktepatan menggunakan terapi obat dapat mengakibatkan resistensi terhadap obat pada tubuh anak.
Dengan demikian, penurunan resisten menjadikan anak naik pada lini berikutnya, yaitu penggunaan obat dengan dosis yang lebih tinggi.
Sementara itu, penggunaan obat dalam jangka panjang juga memiliki refek samping. Misalnya terhadap psikologis anak. Seperti menjadi mudah marah, aktif dan sensitif.
Anak juga sering kali merasa jenuh, karena harus rutin meminum obat. Bahkan, tidak sedikit anak yang tidak mengetahui bahwa dirinya mengidap HIV/AID.
Karena itu, perlu ada edukasi kepada orang tua dan keluarga mengenai pemberian obat (ARV) secara teratur. Karena banyak orang tua yang tidak terlalu menganggap ARV sebagai obat yang penting. Selain itu, perlunya orang tua memberikan pemahaman pada anak tentang penyakit yang dideritanya.
Meski jumlah anak yang terinfeksi HIV meningkat, namun hal itu tidak dibarengi dengan kualitas dan kuantitas layanan kesehatan terhadap anak. Hal itu misalnya, dengan kasus langkanya ketersediaan ARV di sejumlah daerah.
Bahkan masalah lain, beberapa anak yang membutuhkan ARV diberikan resep dengan dosis obat yang tidak pasti, yaitu dihitung dari dosis orang dewasa. Hal ini karena belum tersedianya ARV pediatrik dalam hampir setiap layanan yang tersedia, terutama dalam bentuk sirup. Di samping itu, penggunaan obat terapi ARV juga berkaitan dengan kesehatan mental anak.
Menurutnya, terdapat beberapa hal yang harus menjadi perhatian dalam kasus HIV/AIDS. Termasuk akses ARV atau obat terapi HIV bagi anak yang terbatas, layanan kesehatan reproduksi yang layak bagi perempuan, dukungan mitigasi bagi ibu dan anak terinfeksi HIV, serta stigma dan diskriminasi masyarakat kepada perempuan dan anak yang terinfeksi HIV/AIDS.