REPUBLIKA.CO.ID, Sunat pada perempuan merupakan budaya yang mendunia. Di Indonesia budaya ini umumnya tak terlalu berdampak pada kesehatan anak perempuan.
Tapi, di beberapa bagian dunia, sunat adalah kebiasaan yang justru tidak bermanfaat bagi kesehatan. Anak perempuan Afrika menjalani praktik sirkumsisi dengan pemotongan klitoris, yang merupakan bagian dari tradisi.
WHO (World Health Organization) menggolongkan tindakan ini sebagai female genital mutilation (FGM), tindakan yang berbeda dengan sunat pada pria (male circumcision).
Kendati masih cukup banyak yang melakukannya, FGM sendiri juga tidak memiliki manfaat kesehatan seperti layaknya pada sunat pria. “Menggores saja sangat tidak dianjurkan, apalagi sampai memotong klitoris. Kemungkinan infeksi sangat bisa terjadi dan akibatnya bisa berisiko tinggi dan berbahaya,” ujar Dr Rudy Sutedja, Sp. B dari RS Siloam Kebon Jeruk, seperti dikutip dari www.parentsindonesia.com.
Dr Rini Sekartini, Sp.A (K) dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM pun sependapat. “Secara medis, FGM tidak ada manfaatnya. Praktik yang terjadi selama ini memang tidak terlepas dari nilai kultur masyarakat saja,” tuturnya.
Tahun 1997, WHO beserta United Nations Children’s Fund (UNICEF) dan United Nations Population Fund (UNFPA) menentang praktik FGM tersebut karena memang secara medis tidak diperlukan. Di Indonesia sendiri bahkan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan mendukung semua usaha untuk menghapus pelaksanaan FGM dan mengusahakan agar Departemen Kesehatan menerbitkan larangan bagi petugas medis/paramedis, termasuk fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta, untuk tidak melakukan medikalisasi sunat pada perempuan.