Ahad 15 Feb 2015 01:33 WIB

Pakar Sarankan Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Anak

Seorang anak tengah diperiksa atas gangguan pendengaran. Ilustrasi.
Foto: qatarisbooming.com
Seorang anak tengah diperiksa atas gangguan pendengaran. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Departemen Telinga Hidung dan Tenggorokan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Trimartani menyarankan agar para orang tua melakukan deteksi dini gangguan pendengaran terhadap anak.

 

"Gangguan pendengaran akan makin baik bila ditemukan lebih awal karena keluhan ini akan berpengaruh pada kemampuan anak untuk berbicara," kata Trimartani di Jakarta, Sabtu (14/2).

 

Ia menuturkan selama ini orang tua kerap terlambat mengenali gangguan ini. Biasanya keluhan pada telinga kerap terdeteksi ketika anak tidak lancar berkomunikasi pada usia dua tahun.

 

Bahkan, menurut dia, terdapat juga sejumlah kasus, misalnya kesulitan anak untuk berkomunikasi, baru akan diperiksa orang tua ketika telah menginjak usia tiga hingga empat tahun. Pemeriksaan itu, kata Trimartani, sudah sedikit terlambat karena sulitnya anak untuk berbicara kerap diakibatkan oleh suara maupun bunyi yang tidak mampu diterima telinga dengan baik sehingga mereka hanya membaca gerak mulut lawan bicara.

 

"Sebaiknya memang sudah harus mulai tumbuh kesadaran bagi para orang tua untuk memeriksa kualitas pendengaran anak sejak bayi agar dapat cepat dibantu dengan alat dengar sehingga kemampuan komunikasinya juga sudah terlatih sejak kecil," ucapnya.

 

Sebelumnya, menurut Cochlear Asia-Pasifik yang merupakan perusahaan global penyedia alat kesehatan pendengaran, terdapat 7.500 anak Indonesia di bawah tiga tahun diperkirakan memiliki gangguan pendengaran berat. Tingginya jumlah penderita gangguan pendengaran itu membuat Badan Kesehatan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan satu dari 20 warga Indonesia akan menderita gangguan pendengaran selama hidup mereka.

 

Hingga kini, keluhan pendengaran tersebut menjadi permasalahan sosial dan ekonomi yang besar bagi ribuan keluarga di Indonesia karena penderita kerap bergantung pada orang lain dan sulit mendapat pekerjaan.

sumber : antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement