REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia berkomitmen mengantisipasi obat yang rentan disalahgunakan dengan memperketat regulasi.
Direktur Pengawasan Napza BPOM, Sri Utami Ekaningtyas mengatakan, sebenarnya apotek yang memiliki kewenangan untuk membina dan mengawasi obat yang dijual, termasuk yang rentan disalahgunakan. Namun, BPOM mengklaim selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pemda) untuk mengawasi peredaran obat yang digunakan untuk tujuan yang salah.
Sebab, kata dia, berdasarkan peraturan kesehatan nomor 35 tahun 2014 dinyatakan kalau pemda yang bertugas membina dan mengawasi obat-obatan di wilayahnya. Pemda, tambahnya, juga memungkinkan bekerja sama dengan Balai POM setempat untuk uji laboratorium. “Kami juga buat pengetatan regulasi obat yang disalahgunakan,” ujarnya, di Jakarta, Rabu (29/4).
Sebelumnya, dua apotek masing-masing di Kota Bekasi, Jawa Barat, dan Depok, Jawa Barat, yang digerebek petugas BNN DKI Jakarta karena mengedarkan obat keras kuning yang mengandung Trihexypenidyl (THP), akhir pekan lalu. Adapun apotek yang digerebek petugas di Kota Bekasi, Jawa Barat, berlokasi di Jalan Tawes Raya, Kelurahan Kayuringin Jaya, Kecamatan Bekasi Selatan. BNN berhasil menyita 600 obat yang dibungkus dalam kemasan yang masing-masingnya berisi 10 butir obat THP.
Obat THP ditujukan untuk parkinson. Namun, kata Sri, obat ini kalau disalahgunakan bisa menimbulkan efek teler pada pengguna narkoba dan membuat badan terasa enak. Dia menambahkan, obat THP kalau terus dikonsumsi dalam jangka panjang bisa merusak ginjal. Tak hanya THP, obat yang rentan disalahgunakan lainnya seperti Dekstrometorfan hingga Tramadol.
“Bisa jadi karena harganya yang murah dan bisa dicampur, pengkonsumsinya minum dalam jumlah banyak,” katanya. Untuk itu, pihaknya berkomitmen mengawasi peredaran obat-obatan itu. BPOM juga bekerja sama dengan kepolisian daerah untuk memberikan sanksi kepada pembeli dan pelaku yang melakukan penyalahgunaan.