REPUBLIKA.CO.ID, Profesor Rene mengutarakan, otak buatan ini bisa memiliki dampak yang besar pada penelitian penyakit neurologis atau syaraf dan akan mempercepat penelitian.
"Saya pikir ini etis, karena akan membuat prediksi lebih besar atas apa yang akan terjadi pada seorang pasien yang diberi obat, baik pada sisi efikasi dan efek samping," kemukanya.
Ia berujar, "Anda tak perlu langsung melompat dari hewan pengerat ke manusia. Itu akan menjatuhkan biaya uji klinis secara dramatis - Ini adalah hal yang jauh lebih murah untuk dilakukan ketimbang uji klinis."
Profesor Rene mengatakan, otak buatan ini bisa membantu sejumlah kondisi terutama Alzheimer dan Parkinson. Ia menuturkan, para peneliti akan mengujinya pada orang yang memiliki kecenderungan genetik besar dalam keluarga.
"Kami mungkin akan mengalami kesulitan ketika sepanjang hidup ia terkena beberapa jenis racun lingkungan dan tak mengetahui apa itu, kami mungkin akan memiliki waktu yang sulit untuk mencoba melihat bagaimana itu terjadi dan mengapa," katanya.
Ia menyambung, "Tapi itu juga sebuah model yang memungkinkan kami untuk bertanya tentang kesehatan pra-persalinan? Apa yang terjadi pada perempuan hamil yang merokok tanpa asap nikotin Apakah aman?." Atau apakah Anda minum air yang mengandung plasticide apakah aman?. Kami bisa mengajukan pertanyaan ini dalam model manusia, membuat prediksi dan memberi bimbingan pada FDA (Otoritas Makanan dan Obat-Obatan AS) untuk mengatur atau tak mengatur atau untuk memberikan informasi kepada publik," jelas dia.
Profesor Rene mengatakan, ia meramalkan momen ketika otak buatan ini akan membuka pintu untuk memahami cedera otak traumatis dan Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD).
"Baru-baru ini dalam konferensi ilmu kesehatan militer, kami membolehkan lembaga pertahanan untuk melihat teknologi yang kami ciptakan," ungkapnya.
Sang Profesor melanjutkan, "Harapan kami adalah bahwa jika mereka membiayai kami, kami akan bisa melakukan apa yang kami coba lakukan, katakanlah, untuk autisme atau Alzheimer’s atau Parkinson’s mendapatkan sel-sel kulit dari orang-orang yang trauma, yang memiliki PTSD dan yang tak mengalami PTSD, dan kemudian kami bertanya apa bedanya. Pertanyaannya, misalnya, Anda menggunakan hormon stres dan bertanya, apakah otak orang ini bereaksi lebih buruk terhadap hal ini daripada orang lain, dan itu sebabnya mereka mengalami PTSD atau justru tidak?," tambah dia.