REPUBLIKA.CO.ID, Pakar nyeri dari Klinik Nyeri dan Tulang Belakang, Jakarta, dr Mahdian Nur Nasution, SpBS mengatakan di dalam dunia kedokteran, nyeri adalah indikator adanya sesuatu yang salah di dalam tubuh.
Berdasarkan proses yang mencetuskannya, nyeri dibagi menjadi nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri normal yang terjadi akibat kerusakan atau peradangan jaringan. Sedangkan nyeri neuropatik terjadi akibat abnormalitas pemrosesan rangsang saraf.
Berdasarkan lamanya, nyeri dapat dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah adalah sensasi normal yang dicetuskan sistem saraf agar kita menyadari kemungkinan adanya cedera yang memerlukan perawatan.
Sedangkan nyeri kronik adalah nyeri yang menetap akibat sinyal nyeri yang terus menerus dikirimkan ke saraf selama beberapa minggu, bulan, bahkan tahun. “Nyeri kronik dapat diawali oleh cedera seperti keseleo, infeksi, nyeri sendi, kanker, dan sebagainya, tetapi bisa juga datang tanpa ada penyakit sebelumnya,” jelasnya kepada wartawan dalam acara media visit Update Teknologi Pengobatan Nyeri Terkini, di Klinik Nyeri dan Tulang Belakang, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Proses terjadinya nyeri sangat rumit dan melibatkan banyak faktor. Pada nyeri akut, mula-mula jaringan yang rusak melepaskan zat-zat kimiawi yang mengaktifkan reseptor nyeri dan mencetuskan terbentuknya sinyal-sinyal nyeri. Sinyal nyeri ini kemudian dihantarkan ke sepanjang saraf melalui saraf tulang belakang menuju otak. Secara alami, otak kemudian melepaskan neurotransmitter untuk meredakan nyeri.
Sedangkan nyeri kronis seringkali merupakan nyeri neuropatik yang kompleks sehingga lebih sulit diobati. Penderita nyeri kronik biasanya berasal dari golongan lanjut usia dengan keluhan bervariasi seperti nyeri kepala, sakit pinggang, nyeri lutut yang tidak kunjung hilang meski telah diobati.
“Riset yang dilakukan Global Industry Analysts, Inc (2010) menyatakan bahwa ada lebih dari 1,5 juta orang di seluruh dunia yang mengalami nyeri kronik,” jelasnya.