REPUBLIKA.CO.ID, Berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosi tidak menyenangkan yang dapat disebabkan oleh kerusakan jaringan dan atau hal yang berpotensi menimbulkan kerusakan jaringan. Karena itu, penanganan nyeri bersifat kompleks dan memerlukan pemeriksaan seksama.
Pakar nyeri dari Klinik Nyeri dan Tulang Belakang Jakarta, dr Mahdian Nur Nasution, SpBS, menjelaskan penilaian dan pengelolaan nyeri yang tidak mumpuni dapat berujung pada nyeri yang tidak kunjung sembuh. Dan karena itu pula, setiap pasien yang mengalami trauma berat atau menjalani pembedahan perlu mendapatkan penanganan nyeri yang sempurna. Jika tidak, nyeri dapat menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang memengaruhi semua sistem di tubuh dan memperberat kondisi pasien.
Derajat nyeri umumnya bersifat individual dan sangat dipengaruhi faktor genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Namun terlepas dari itu, lanjutnya, nyeri dapat menimbulkan dampak besar baik bagi penderita maupun orang-orang di sekitarnya.
“Nyeri dapat menimbulkan gangguan tidur, penurunan produktivitas, tingginya angka bolos kerja, ketidakmampuan beraktivitas, hingga ketergantungan pada orang lain. Secara psikologis, nyeri berkepanjangan dapat memicu hadirnya depresi, kemarahan, dan ketegangan serta dapat mencetuskan kecanduan obat pereda nyeri,” tambahnya.
Nyeri juga merupakan gangguan yang cukup banyak menghabiskan anggaran kesehatan. Sayangnya, nyeri seringkali diabaikan dan hanya dianggap sebagai gejala, bukan sebagai penyakit tunggal yang perlu diobati.
Menurutnya, penanganan nyeri umumnya hanya berfokus pada penggunaan obat-obatan anti nyeri. Pada kasus-kasus yangan penyebab jelas seperti kanker, tumor, atau penyakit, terapi berupa tindakan bedah juga dapat dilakukan.
“Sayangnya, tidak semua kasus nyeri dapat diatasi dengan kedua modalitas terapi tersebut. Nyeri yang berlangsung lama atau nyeri kronis seringkali sulit untuk dikelola sehingga memerlukan obat dengan dosis tinggi atau obat golongan opioid yang perlu diawasi ketat penggunaannya,” jelasnya.
Bukan hanya itu, terapi nyeri dengan menggunakan obat berpotensi menyebabkan ketergantungan obat antinyeri, terutama mereka yang mendapat obat golongan opioid. Penggunaan obat golongan ini juga berpotensi menyebabkan kematian akibat overdosis. Pasalnya, menurut survei yang dilakukan oleh American Pain Foundation (2006), lebih dari 51 persen responden merasa bahwa nyeri yang mereka rasakan belum atau hanya sedikit terkontrol.
Selain itu, enam dari sepuluh pasien mengatakan bahwa nyeri dapat kambuh hingga beberapa kali sehari sehingga menurunkan kualitas hidup.
Akibatnya, pasien seringkali menambah frekuensi atau dosis obat tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter.