REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) di Indonesia, pada tahun 2014 menunjukkan bahwa 36,2 persen remaja laki-laki dan 4,3 persen remaja perempuan yang berumur 15-20 tahun, saat ini aktif mengonsumsi tembakau dari rokok. Sebanyak 43,2 persen remaja, merokok di usia 12-13 tahun.
Selain itu, hampir tiga dari lima siswa (57,3 persen) terpapar asap rokok di rumah mereka. Sedangkan 60,1 persen terpapar asap rokok di tempat umum tertutup.
Tentu saja fakta tersebut sangat ironis, mengingat para remaja ini merupakan cikal bakal penerus bangsa. Dan sangat disayangkan jika kehidupannya dirusak oleh paparan asap rokok.
dr Theresia Sandra, MPH mengungkapkan bahwa niat dan keinginan seseorang untuk berhenti merokok sangat diperlukan guna mengurangi dampak-dampak negatif tersebut. Sayangnya, hal tersebut terbilang sulit dilakukan karena rokok masih bebas dijual di pasaran dengan harga yang relatif murah.
"Di Singapura harga rokok sangat mahal, sekitar Rp 150 ribu satu kotak. Sementara di Indonesia di jual murah, hanya sekitar Rp 15-20 ribu saja. Hal ini yang membuat remaja dapat dengan mudah mengonsumsi rokok," katanya.
Data dari Kemenkes sendiri, saat ini menunjukkan sekitar tiga dari lima siswa (58,2 persen) yang merokok umumnya membeli rokok di toko atau warung secara eceran. 64,5 persen siswa tersebut tidak mendapatkan penolakan ketika membeli rokok di tempat-tempat tersebut.
Padahal asap dari rokok itu sendiri, menurut Sandra mengandung lebih dari 7000 bahan kimia berbahaya. Ratusan diantaranya sangat beracun, dan memiliki dampak negatif pada organ tubuh manusia diantaranya adalah menyebabkan kanker.
"Perlu adanya niat dalam hati untuk berhenti dan menghindari rokok. Bahayanya sudah banyak yang merasakan, paling cepat sekitar enam bulan perokok aktif bisa terlepas dan berhenti merokok. Namun, tak jarang juga banyak yang terhitung tahunan untuk berhenti merokok. Sekali lagi semua tergantung niat dari individu itu sendiri," ungkapnya.