REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Spesialis kesehatan jiwa mengungkapkan, penderita skizofrenia (ODS) berpeluang tak perlu mengonsumsi obat dalam jangka panjang bila gejala penyakitnya itu terdeteksi di episode awal.
"Orang dengan skizofrenia (ODS) perlu mengonsumsi obat jangka panjang. Tetapi bila gangguan ditemukan pada episode awal, pengobatan bisa saja hanya dua tahun, lalu dievalusi apakah obat benar-benar dihentikan," ujar dr. A.A. A. Agung Kusumawardhani, SpKJ(K), di Jakarta, belum lama ini.
Lebih lanjut, bila penderita masih mengalami kekambuhan, maka dokter perlu mengevaluasi setelah lima tahun masa pengobatan penderita.
"Tetapi, kalau berkali-kali kambuh, harus dievaluasi lima tahun. Dia bisa tetap minum obat atau berhenti. Kalau dia menyerang orang atau diri sendiri, walaupun gejala reda, minum obat saja terus," kata dia.
Agung mengingatkan, deteksi dini amat diperlukan agar pengobatan yang dilakukan bisa menghasillkan pemulihan yang lebih baik. Deteksi dini ini biasanya bisa dilakukan bila ditemukan sejumlah gejala seperti seseorang tidak bisa menyampaikan ide secara runut, konsentrasi terganggu, berhalusinasi atau memiliki persepsi inderawiah palsu dan pergolakan emosi.
Kemudian, seseorang mengalami halusinasi seperti seolah-olah mendengar adanya suara. Padahal, suara itu tak terdengar oleh orang lain yang normal.
Lalu, ia merasa yakin orang lain membaca pikiran, mengendalikan pikiran mereka atau bahkan seakan merencanakan untuk menyakiti mereka. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang salah satunya disebabkan berlebihnya jumlah dopamin di otak sehingga proses berpikir penderita terganggu.
Obat-obatan di sini dibutuhkan untuk mengatasi kelebihan dopamin itu. Selain obat, penderita juga memerlukan terapi psikososial misalnya pemberian bekal keterampilan agar ia siap kembali ke lingkungan sosialnya.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 memperlihatkan, di Indonesia penderita skizofrenia mencapai sekitar 400 ribu jiwa.
"Saya menduga bukan berarti jumlah gangguan sedikit. Mungkin ada masalah stigma di sini, sehingga tidak semua orang melaporkan anggota keluarganya (yang menderita skizofrenia)," kata Agung.
Sementara di dunia, data menunjukkan, prevalensi penderita skizofrenia sebesar 0,7-1,2 persen penduduk dunia. Rata-rata berusia di atas 18 tahun.