REPUBLIKA.CO.ID, Idealnya sebanyak 84 persen wanita akan hamil secara alamiah apabila melakukan hubungan seksual dalam kurun waktu satu tahun. Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa kondisi infertilitas ini banyak dialami oleh banyak pasangan.
Spesialis kandungan dan kebidanan MRCCC Siloam Semanggi, dr. Batara Imanuel Sirait, SpOG (K) FER, mengungkapkan bahwa proses inseminasi merupakan salah satu bentuk penanganan bagi pasien suami-istri yang menginginkan keturunan. Salah satu caranya adalah dengan melakukan pengawetan fertilitas sel telur maupun sperma, sehingga bisa menjadi embrio yang dapat di tanam di rahim, sebagai cikal bakal janin.
"Pengawetan ini bahkan bisa dilakukan pada pasien kanker yang tetap ingin memiliki keturunan. Teknik yang dilakukan bisa dalam bentuk pembekuan jaringan sel telur, sperma dan embrio. Setelahnya jaringan indung telur dapat digunakan di kemudian hari setelah pasien pulih dari kanker," ungkapnya, beberapa waktu lalu.
Hal ini, penting dilakukan mengingat pengobatan kanker banyak merusak sel saraf manusia termasuk sperma dan sel telur. Selain melakukan pengawetan infertilitas pada pasien kanker, langkah inseminasi ini juga bisa menjadi solusi untuk pasien dalam kondisi normal.
"Untuk orang normal syarat melakukan inseminasi ini adalah terjadi gangguan kesuburan yang tidak diketahui penyebabnya, gangguan infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis, masalah sperma pada pria, wanita yang alergi sperma hingga masalah dari rahim wanita itu sendiri," tambahnya.
(baca: Hore, Minum Kopi Saat Hamil tak Bahayakan Janin)
Selanjutnya, setelah proses kehamilan berlangsung, menurut spesialis kandungan dan kebidanan MRCCC Siloam Semanggi, dr. Alvin Setiawan, SpOG ibu hamil juga penting untuk melakukan perawatan asuhan antenatal. Perawatan ini merupakan suatu program konstentrasi ibu hamil sebelum proses melahirkan berlangsung.
"Program ini meliputi konseling dengan dokter, senam hamil dan konsultasi gizi selama masa kehamilan. Tujuannya tak lain agar ibu bisa melahirkan dengan normal dan mengurangi resiko bayi lahir cacat," kata Alvin, dalam kesempatan yang sama.
Anjuran untuk melakukan program ini ternyata sangat penting dan telah didukung oleh WHO, melalui penelitian di sejumlah negara berkembang termasuk Indonesia.