REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak 2006 atau sudah satu dasawarsa, Indonesia tidak lagi menemukan kasu polio. Namun hal itu tidak berarti kewajiban memberikan imunisasi polio pada anak terhenti. Mengapa? “Karena penyebab tidak adanya polio itu semua karena imunisasi. Imunisasi harus dipertahankan cakupannya yang tinggi,” ungkap Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Jane Soepardi kepada Republika.co.id beberapa waktu lalu.
Masalahnya adalah ternyata di beberapa tempat, masih ada yang rendah cakupan imunisasinya. Walau pun secara nasional cukup tinggi, dia mengatakan, dari kacamata nasional, jika turun sampai ke desa-desa kampung dan dusun, masih ada beberapa desa yang rendah cakupannya. Bahkan masih ada anaknya yang belum imunisasi. “Ini kan rawan, jadi kita seperti menyimpan kantong-kantong penyakit," ujar dia.
Dia mengatakan itulah gunanya pekan imunisasi nasional (PIN) digelar. Jane mengatakan, PIN jangan sampai tidak berhasil. Menurut dia, walau pun kini sudah tidak ada kasus, namun harus tetap diwaspadai. Dia mengibaratkan jika kuman bertamu ke anak kita, jika belum divaksinasi akan bahaya karena anak tidak punya penjaga yang kuat.
Menurut dia, jangankan desa, di Jakarta pun masih banyak ibu-ibu muda yang tak mengizinkan anaknya diimunisasi. Masyarakat yang anaknya tidak diimunisasi merasa anaknya tidak sakit meski pun tidak diimuniasi.
Padahal faktanya imunisasi itulah yang berperan. Anak yang diimunisasi juga akan berefek dan bisa memberikan kekebalan pada anak disekitarnya. Misalnya di suatu tempat anak yang diimunisasi sekitar 80 persen, yang tidak diimunisasi 20 persen. "Anak yang diimunisasi itulah yang melindungi anak yang tidak diimunisasi," katanya.
Meski demikian, anak yang tidak diimunisasi tersebut tetap berisiko, terutama jika sang anak keluar dari lingkungan yang 80 persen diimunisasi. Kendala lainnya, dia meyebut banyak ibu-ibu tidak melakukan imunisasi pada anaknya karena menganggap anak adalah milik mereka. Sehingga mereka berhak menolak imunisasi.
Padahal imunisasi itu hak anak. “Kalau dia berhak menentukan hidup anaknya menjadi lebih baik tidak apa, tapi kalau justru menghalangi anak mendapatkan kesehatan kan berabe. Itu yang belum diketahui,’ tambahnya.