REPUBLIKA.CO.ID, Psikiater di Klinik Dharmawangsa dan MRCC Semanggi, dr Endah Ronawulan, SpKJ, menjelaskan bipolar disebabkan oleh tiga faktor utama. Genetik, pola asuh dan lingkungan.
Jika kedua orang tua bipolar, maka 75 persen anak akan bipolar, namun jika hanya salah satu orang tua, maka kemungkinannya hanya 25 persen. Selain tiga faktor ini, ada faktor pemicu ditambah stressor.
“Kalau sudah ada genetik, tapi pola asuh bagus, lingkungan terjaga belum tentu berkembang bipolarnya,” ujar perempuan yang menjabat sebagai Kepala Bagian Psikiatri di RSPP.
Psikolog klinis dan forensik, Kassandra Putranto, penderita bipolar memang ada potensi risiko genetik. Namun tidak saat lahir dia terpicu, tidak pada saat lahir langsung bipolar. Tapi ada pemicunya, yaitu kejadian-kejadian dari sisi psikologis. Ada kondisi-kondisi yang sangat khas pada saat penelitian terbukti sebagai pemicu munculnya bipolar.
“Biasanya adalah kekerasan atau trauma, jadi ketika masa kecilnya ada konflik, ada trauma, ada kekerasan, mereka akan terpicu menjadi bipolar,” ujarnya.
Menurutnya, karena ada unsur kekerasan, ada unsur kondisi psiko sosial anak dari lahir, sampai dia dewasa, ada hal-hal yang memicu. “Boleh jadi Anda membawa gen bipolar, tapi kalau penyebabnya tidak memicu bipolar itu tidak akan terjadi, tapi kalau dia terpicu oleh kekerasan, oleh trauma, dan lain sebagainya terutama oleh figur orang tua, yang juga mempunyai karakteristik mental psikologis, bisa jadi bipolar,” ungkapnya.
Misalnya dia dihina oleh bapaknya, “IQ kamu jongkok ah,”. Mungkin buat orang lain, baru begitu saja sudah buat mood surut. Padahal tidak boleh seperti itu. Karena setiap orang berbeda, ada yang mental tahu, telor rebus, atau batu. Kalau mental tahu baru dikatakan seperti saja sudah hancur.
“Karena itu kita harus melepaskan diri dari budaya lama, model pendidikan dengan kekerasan. Kalau dulu kan anak dijemur, disabet, dimarahi, ditabok, diapakan segala macam,” ungkap Kassandra.
Kassandra mengungkapkan semua pasien bipolarnya yang datang, dia pasti minta diceritakan tentang orang tua mereka. Semuanya tidak bisa cerita, karena kalau tidak ayahnya yang injak kepalanya, ibunya juga lakukan kekerasan.
“Harusnya gunakan pendekatan terkini, evidence base practice, pendekatan yang sudah terbukti. Betul nggak sih kalau anak dikerasi, nantinya jadi sukses, buktinya mana, seberapa banyak sih yang jadi sukses? Paling sepuluh persen, lalu apakah dengan sepuluh persen itu kita harus didik anak dengan kekerasan? Kan nggak, yang lebih efektif malah justru yang tanpa kekerasan. Tapi dengan kasih sayang yang tegas, bukan kasih sayang tanpa syarat,” jelasnya.
(baca: Anak Autisme tak Boleh Susu Sapi, Mitoskah?)