REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Penyandang ‘low vision’ di kalangan pelajar masih tergolong tinggi. Hal itu berdasarkan riset yang dilakukan Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) pada 2014 hingga 2015.
Riset menemukan sebanyak 2.905 penyandang low vision. “Dari jumlah itu, 44 persen adalah pelajar atau masih duduk di bangku sekolah,” kata dokter Spesialis Mata RSI Sultan Agung, Semarang, Jawa Tengah, dr Nika Bellarinatasari, di sela peluncuran layanan low vision Sultan Agung Eye Center, Senin (1/8).
Ia menjelaskan low vision merupakan keterbatasan pandangan yang dialami oleh seseorang. Menurutnya, orang yang normal memiliki sudut pandang sekitar 150 derajat. Sementara penyandang ‘low vision’ hanya sekitar 10 derajat.
“Jadi, kalau melihat objek, orang dengan low vision harus memincingkan mata atau seperti orang mengintip" ujar dia, dalam siaran persnya.
Terdapat beberapa penyebab low vision. Antara lain kelainan refraksi, kerusakan pada lensa mata karena katarak, serta dislokasi lensa atau trauma pada mata (terbentur, jatuh, dan sebagainya).
Menurutnya, dokter yang ada di unit layanan low vision memberikan perhatian khusus bagi pelajar. Ini mengingat mereka masih memiliki kewajiban menuntut ilmu.
"Bahkan ketika mereka (para pelajar, red) setelah dilakukan intervensi di unit low vision, mereka mampu melihat tulisan di papan tulis dan mengikuti pelajaran dengan baik sehingga mereka sukses berprestasi," katanya.
Meski begitu, tidak hanya pelajar, fasilitas low vision juga diperuntukkan siapa saja yang memiliki keterbatasan jarak pandang. "Agar mereka mampu melakukan rutinitas kehidupan sehari-hari tanpa bantuan orang lain" ujarnya.
Ia menuturkan, selain pemeriksaan rutin, di unit Sultan Agung Eye Center, penyandang low vision akan dilakukan rehabilitasi penglihatan, dan diajarkan penggunaan alat bantu baik optic maupun non optic seperti telescope, standing book, magnifier, kacamata como baby, dan lainnya.