REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Antiretroviral (ARV) telah diakui sebagai obat yang bisa digunakan untuk mengobati HIV AIDS. Persediaan obat ini dilakukan pemerintah mengingat jumlah penderita HIV-AIDS di Indonesia diperkirakan terus bertambah. Dikhawatirkan, bila subsidi pemerintah untuk pengadaan obat ini dihentikan, maka penderita HIV-AIDS semakin banyak.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 87 Tahun 2014 disebutkan, ARV berguna untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV dan menurunkan jumlah virus (virual load) dalam darah sampai tidak terdeteksi. Sekretaris Umum Yayasan AIDS Indonesia (YAIDS), Dr Sarsanto menjelaskan, obat ini sangat bermanfaat bagi Orang dengan HIV AIDS (ODHA).
Namun, kata dia, ARV belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh. "Kalau putus obat maka virus akan datang lagi, daya tahan tubuh akan menurun lagi, yang tadinya penyakit tidak berkembang maka akan berkembang seperti TBC, dan banyak sekali. TBC tidak bisa disembuhkan obat biasa karena mengandung HIV, penyakit HIV harus ditekan maka TBC akan hilang," ujarnya di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (1/12).
ARV bekerja dengan cara mengontrol proses replikasi dari HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh dengan membuat salinan palsu dari DNA. Untuk mendapatkan manfaat ARV, pengidap HIV harus mengonsumsi obat seumur hidup.
Sebab, jika tidak, pertumbuhan virus di tubuh tidak terkontrol dan bisa juga muncul resistensi terhadap obat. Dalam mengonsumsi ARV tidak semudah itu, harus meminum obat rutin seumur hidup, belum lagi harus merasakan efek sampingnya, membuat para penderita HIV tidak betah mengonsumsi ARV.
"Obat ini ada beberapa tingkat. tTngkat satu efeknya agak tinggi, mual, muntah. Kalau tidak tahan naik level dua, merupakan kombinasi antar obat, efek samping kurang dari level satu. Harganya agak mahal, kami menyarankan agar (penderita HIV-AIDS) bertahan level satu. Kita sedang merancang level tiga untuk mengurangi efek samping," ujar dia.
Di samping itu, dia menyarankan, ARV tetap gratis sebab zaman pemerintah Megawati obat ini gratis kepada orang dengan HIV AIDS. Apabila nantinya ARV berbayar, maka dirinya menyakini pengadaan ARV akan terhenti.
"Obat ini mahal sekali Rp 4,8 juta per bulan. Setelah digenerikan, harga obat ini di Indonesia Rp 500 ribu. Sewaktu pemerintah Megawati diberikan subsidi sebesar Rp 200 miliar. Kita mengusahkan anggaran melalui Kementerian Kesehatan supaya mereka yang sudah berobat jangan terputus karena seumur hidup," ungkapnya.