REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat diminta meningkatkan kesadaran pada penyakit langka. Sebab, dampak yang ditimbulkan biasanya bersifat kronis, progresif dan mengancam kehidupan, apalagi kondisinya sulit untuk didiagnosa dan diobati.
Kepala Penyakit Langka Amerika Utara Perusahaan Kesehatan Sanofi Genzyme Yann Mazabraud mengatakan, gejala penyakit langka menyerupai penyakit lain sehingga menyulitkan diagnosis awal dan berdampak pada kesalahan diagnosis dan perawatan
"Pasien dengan penyakit langka biasanya akan berlanjut hingga beberapa tahun hingga dekade tanpa diagnosa yang benar," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (1/3).
Kerja sama antara pasien, dokter dan komunitas peneliti untuk mempercepat proses diagnosa diperlukan agar pasien dengan penyakit langka mendapatkan akses terhadap diagnosa awal dan perawatan yang sesuai.
Berdasarkan European Organization for Rare Disease (EURORDIS), penyakit langka adalah suatu penyakit yang jumlah penderitanya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah populasi pada umumnya. Di Indonesia, suatu penyakit dikatakan langka jika penyakit tersebut dialami kurang dari 2000 orang di suatu negara.
Lebih dari 7.000 penyakit langka yang berbeda mempengaruhi lebih dari 350 juta orang di dunia. 75 persen penderitanya adalah anak-anak dan 30 persen di antaranya anak-anak di bawah umur lima tahun. Hal tersebut karena 80 persen penyebab penyakit langka adalah kelainan genetik.
Untuk pengobatan dan perawatan, belum semua penyakit langka dapat disembuhkan, yakni hanya sekitar lima persen penyakit langka yang dapat di terapi. "Dengan perawatan medis yang tepat dan sesuai, bisa memperbaiki kualitas kehidupan dan memperpanjang harapan hidup pasien," ujar Yann.
Hari Penyakit Langka diperingati pada 28 Februari untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai penyakit langka dan dampaknya bagi para penderitanya.