Rabu 08 Mar 2017 19:02 WIB

Transplantasi Ginjal di Indonesia Terkendala Teknologi

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Winda Destiana Putri
Donor Ginjal (ilustrasi)
Foto: Foto : Mardiah
Donor Ginjal (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Jumlah penderita penyakit ginjal semakin bertambah dari tahun ke tahun. Namun demikian teknologi untuk menangani penyakit tersebut masih terbatas.

Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) DIY, Iri Kuswadi menyampaikan, rumah sakit yang bisa menangani transplantasi ginjal secara mandiri pun masih sedikit. "Yang bisa menangani transplantasi ginjal mandiri hanya beberapa rumah sakit di jakarta dan RSUP Sardjito," katanya saat ditemui di Ruang Hamodialisis RSUP Sardjito, Rabu (8/3). Padahal menurutnya, transplantasi menjadi salah satu metode penanganan penyakit ginjal yang paling efektif.

Maka itu tak heran jika jumlah penanganan transplantasi masih rendah. Bahkan secara nasional pasien yang menjalani transplantasi hanya berjumlah sekitar 500 orang per tahun. Di RSUP Sardjito sendiri, jumlah pananganan transplantasi hanya 36 kasus. Itu pun terhitung sejak tahun 1990-an sampai sekarang.

Meski demikian, sebelum menjalankan transplantasi, RSUP Sardjito juga harus melakukan pengecekan Human Leucocyte Antigen (HLA) di rumah sakit ibu kota. Pasalnya rumah sakit rujukan DIY dan Jawa Tengah ini masih belum memiliki teknologi untuk melakukan pengecekan HLA sendiri.

"Kami dulu pernah berusaha mendatangkan reagent (cairan untuk mengetes HLA) dari Swedia. Sudah sampai Indonesia, tapi ditolak beacukai. Jadi tidak bisa sampai ke sini (RSUP Sardjito)," kata Kuswadi. Oleh karena itu, tahun ini RSUP Sardjito akan mencoba kembali untuk melakukan pengetesan HLA secara mandiri.

Selain terkendala teknologi, transplantasi ginjal juga terhambat oleh stigma masyarakat. Dimana masyarakat Indonesia masih menganggap donor organ tubuh sebagai sesuatu yang tabu. Padahal di negara-negara maju, hal tersebut sudah lumrah.

Bahkan Kuswadi menyampaikan, di Amerika Serikat, pemerintah mewajibkan masyarakatnya untuk mendonorkan organ tubuh apabila telah meninggal. "Di SIM (surat izin mengemudi) di sana itu tertulis bahwa yang bersangkutan harus bersedia menyumbangkan organ tubuhnya jika meninggal dalam kecelakaan," katanya.

Ia menilai pemerintah harus turut aktif merubah pemikiran negatif masyarakat terkait donor ginjal. Di antaranya melalui sosialisasi dan edukasi. Selain itu, pemerintah juga harus membuat peraturan yang mendukung donor ginjal.

Karena berbagai keterbatasan tersebut, saat ini kebanyakan pasien penyakit ginjal di RSUP Sardjito ditangani dengan metode cuci darah. Dalam sehari ada sekitar 65 pasien yang menjalani cuci darah di instalasi hemodialisis RSUP Sardjito. Mereka berasal dari berbagai daerah, termasuk luar DIY. 

"Mesinnya ada 27 unit. 25 unit untuk hepatitis negatif, dan dua lainnya untuk hepatitis positif," kata Kepala Pelayanan Ruang Hemodialisis RSUP Sardjito, Tatik Dwiwahyuni. Para pasien harus menjalani cuci darah setiap dua pekan sekali, dengan durasi perawatan 4,5 sampai lima jam per satu kali cuci darah. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement