Rabu 05 Apr 2017 10:41 WIB

Masyarakat Sumba Percaya Tuberkulosis Hukuman dari Leluhur

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Indira Rezkisari
Ilustrasi Tuberkulosis.
Foto: Reuters
Ilustrasi Tuberkulosis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Setia Pranata mengungkap penyakit ngilu apung atau tuberkulosis (TB) di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) dipercaya sebagai 'hukuman'. Penderitanya dianggap dihukum oleh arwah leluhur Marapu karena lupa memuja dan meminta perlindungannya.

Ia mengungkap hasil riset etnografi kesehatan yang ia lakukan di Desa Umalolo Kabupaten Sumba Timur, NTT, mengidentifikasi adanya penyakit yang dikenal dengan istilah ngilu apung sebagai penyakit hukuman yang diberikan arwah leluhur Marapu kepada seseorang yang lupa memuja dan meminta perlindungannya.

"Gejala yang teramati pada penderita ngilu apung mirip dengan gejala penderita TB Paru menurut sudut pandang medis," ujarnya saat pemaparan di parade riset etnografi kesehatan dan riset intervensi kesehatan berbasis budaya, di Jakarta.

Berdasarkan riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013, kata dia, prevalensi TB di Indonesia adalah 0,4 persen. Di provinsi NTT, prevalensi TB di provinsi ini sebesar 0,3 persen. Jika dilihat dari prevalensi gejala batuk lebih dari dua pekan, angka di NTT yang tertinggi yaitu 8,8 persen.

Prevalensi berdasarkan gejala batuk darah adalah sebesar 4,0 persen dan angka ini lebih tinggi dari angka nasional yaitu 2,8 persen. Berdasarkan data dinas kesehatan, kasus TB di NTT tercatat sebanyak 430 kasus.

"Penanggulangan TB atau ngilu apung telah dilakukan dengan strategi DOTS," katanya. Namun, kata dia, program pemberantasan TB di Sumba Timur tidak memberikan hasil yang diharapkan, ini terbukti dari kasus TB yang terus meningkat.

Ia menjelaskan, temuan lapangan menunjukkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi kesembuhan penderita TB ketika menjalani pengobatan program selama minimal enam bulan. Di wilayah Umalolo, kata dia, jarak rumah penderita TB dengan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang ada mencapai 23 kilometer. Kemampuan akses ke puskesmas diperparah oleh kondisi geografis dan prasarana yang terbatas. Kondisi ini juga berdampak pada kemampuan petugas kesehatan menjangkau penderita dan individu yang diduga menderita TB,serta pengambilan obat anti TB.

Baca: Berobat, Pasien TB tak Dikenakani Biaya

"Salah satu potensi pilihan yang ada pada masyarakat adalah wunang," ujarnya.

Dalam struktur masyarakat adat, kata da, wunang adalah seorang penasehat raja dan juru bicara ketika kegiatan adat. Selain itu, wunang ada yang memimpin ritual dan menjadi pengobat tradisional. Mereka yang terpilih sebagai wunang, biasanya mempunyai pengetahuan tentang aturan adat dan sejarah masyarakat adat.

Begitu pentingnya peran wunang dalam kehidupan masyarakat adat, kata dia, dilakukan rekayasa sosial untuk memerankan wunang sebagai aktor dalam upaya penanggulangan TB di Sumba Timur. Skenarionya wunang ikut melakukan pendampingan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka. Hasil dari rangkaian kegiatan intervensi tersebut, kata dia, antara lain berupa dukungan bapak raja terhadap pelaksanaan kegiatan riset operasional ini. Dukungan bapak raja diwujudkan dengan menggerakkan wunang untuk hadir dalam pertemuan sosialisasi.

"Diperkenankannya penggunaan rumah adat uma bokolu sebagai tempat pelaksanaan komitmen dan capacity building, merupakan komitmen bapak raja untuk penanggulangan TB," ujarnya.

Kemudian dilakukan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan wunang tenang TB dan seni berkomunikasi. Ia mengakui, wunang sudah mempunyai kapasitas memadai untuk berkomunikasi dan bernegosiasi, terbukti dapat menyampaikan pesan penanggulangan TB dengan mudah.

"Mereka (wunang) menyampaikan informasi tentang TB dan pentingnya kepatuhan penderita untuk minum obat anti TB secara teratur," katanya.

Dengan kuatnya peran tokoh masyarakat adat dalam kehidupan bermasyarakat di Sumba Timur, ia memberikan rekomendasi kebijakan perlu ditingkatkan peran bapak raja dan wunang sebagai aktor membantu upaya penanggulangan TB sesuai fungsi dan perannya. Jadi, dimunculkan istilah 'wunang kesehatan' yang mendapingi istilah wunang hamayang dan wunang adat.

"Perlu dilakukan kesepakatan adat untuk menguatkan keberadaan 'wunang kesehatan'," katanya.

Selain itu, kata dia, pemenuhan kebutuhan biaya dan operasional wunang kesehatan dapat dilakukan dari dana operasional puskesmas atau dana desa. Ia menambahkan, perlu ada kesepakatan untuk ini.

Kemudian perlu dilakukan upaya terpadu dan sistematis di tingkat kebijakan menggunakan strategi komunikasi untuk membangun komitmen politik dan menjamin keberlangsungan program penanggulangan TB. "Tenaga kesehatan diharapkan lebih peduli dan mempelajari budaya yang berlaku di masyarakat agar mampu memahami makna dibalik perilaku masyarakat," ujarnya.

Tenaga kesehatan juga diharapkan aktif memantau, mampu mengimbangi dan merespons kinerja wunang kesehatan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement