REPUBLIKA.CO.ID, Video bunuh diri pria asal Ciganjur, Jakarta Selatan, Maret 2017 silam yang diunggah live di Facebook telah menggegerkan warga net. Tak hanya di Indonesia, aksi bunuh diri serupa ternyata juga dilakukan sejumlah orang di seantero dunia.
Pada 2011, seorang pria Inggris membunuh dirinya sendiri di Safdarjung Enclave, New Delhi, India, sementara sang pacar menonton lewat Skype. November 2016, gadis 19 tahun di Prancis melompat ke depan kereta api yang melaju sambil mengabarkan kematiannya lewat aplikasi Periscope di ponsel.
Tak terbilang banyaknya kasus serupa di berbagai belahan dunia sehingga aksi bunuh diri itu seolah jadi tren mengenaskan. Psikiater Avdesh Sharma menjelaskan, sesungguhnya para pelaku (sekaligus korban) bunuh diri berharap ada orang yang bereaksi secara fisik untuk menghentikan mereka.
"Sungguh menyedihkan, pada seluruh kasus relevan yang saya jumpai, publik lebih memilih menulis kekagetan di kolom komentar daripada merespons secara fisik," tutur Sharma.
Itu sebabnya, dokter dan para pakar menganjurkan keluarga atau petugas medis untuk selalu memastikan pengidap depresi berada dalam pengawasan. Apalagi, jika pasien aktif di jaringan media sosial namun merasa terisolasi di kehidupan nyata.
Sharma juga meminta warga net di media sosial ikut berperan. Misalnya, saat mendapati pengguna yang mempublikasikan status aneh, mencemaskan, atau ingin bunuh diri, publik dapat mencegah dan meminta orang itu merenungkan tindakannya lebih jauh.
Banyak pakar kesehatan mental yang telah menyarankan agar situs jejaring sosial atau pemerintah mengaktifkan sistem SOS saat video sejenis muncul. Facebook kini dilaporkan sedang mengintegrasikan alat pencegahan bunuh diri real-time di Facebook Live, dilansir dari laman Times of India.