Kamis 27 Jul 2017 18:35 WIB

BPOM Diminta Izinkan Obat Baru untuk Penderita Hepatitis C

Red: Qommarria Rostanti
Pita merah kuning simbol Hepatitis C,
Foto: fundraisingforcause
Pita merah kuning simbol Hepatitis C,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Virus hepatitis C menjadi salah satu penyebab utama penyakit hati kronik di seluruh dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada 71 juta orang di dunia yang terinfeksi hepatitis C kronis dan 10 juta orang di antaranya tinggal di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Virus Hepatitis menyebabkan lebih dari 1 juta kematian pada 2015. Angka ini serupa dengan kematian yang disebabkan oleh tuberkulosis (TB) dan lebih tinggi dari kematian terkait HIV. Jumlah kematian terkait virus hepatitis meningkat dari waktu ke waktu sementara kematian terkait TB dan HIV menurun.

Di Indonesia sendiri, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi orang yang terinfeksi hepatitis C 2,5 persen atau sekitar 5 juta orang. Berdasarkan data tersebut, sudah selayaknya permasalahan terkait hepatitis C menjadi perhatian pemerintah. Apalagi mengingat Indonesia merupakan negara yang ikut menjadi bagian dalam penyusunan rencana aksi dan strategi badan kesehatan dunia wilayah Asia Tenggara (SEARO) yang untuk mengeliminasi hepatitis C pada 2030.

Dalam beberapa dekade terakhir, untuk pengobatan penyakit Hepatitis C, Indonesia menggunakan kombinasi obat gabungan interferon dengan ribavirin yang dipakai selama 48 pekan. Sayangnya, kombinasi menimbulkan efek samping yang berat seperti depresi, anemia, kelelahan, demam, sakit kepala, dan nyeri otot dan juga kombinasi kedua jenis obat tersebut memiliki tingkat kesembuhan yang hanya sekitar 45 persen.