REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan penyalahgunaan dumolid oleh pasangan selebritas Tora Sudiro dan Mieke Amalia merupakan gambaran kecil dari praktik penyalahgunaan obat dengan resep dokter (prescription drugs) yang terjadi di tengah masyarakat. Jika dibiarkan, penyalahgunaan obat dapat menyebabkan masalah yang lebih luas di samping membahayakan kesehatan pribadi.
"Sekarang ini, bukan hanya saya, tapi sejawat saya, kawan-kawan psikiater, banyak menemukan kasus (penyalahgunaan obat)," ungkap spesialis kedokteran jiwa dari RS Medistra dr Adhi Wibowo Nurhidayat SpKJ(K) MPH saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (4/8).
Selain dumolid atau nitrazepam, ada beberapa obat lain yang juga kerap disalahgunakan oleh sebagian masyarakat. Salah satu dari obat tersebut adalah obat batuk dextromethorphan. Contoh lainnya adalah trihexyphenidyl atau lebih dikenal sebagai Double L.
Adhi melihat salah satu faktor penyebab terjadinya penyalahgunaan obat adalah kecenderungan sebagian masyarakat untuk melakukan self medication. Self medication merupakan suatu upaya untuk mengobati diri sendiri hanya dengan membeli obat yang seharusnya didapatkan dengan resep dokter.
"Jangan mencoba untuk terapi diri sendiri, karena ada dua hal (kerugian)," sambung Adhi.
Salah satu kerugian yang dapat timbul akibat penyalahgunaan obat adalah kerugian secara klinis, seperti efek samping obat. Efek samping obat dapat muncul jika penggunaan obat tidak dilakukan dengan semestinya dan tidak melalui pengawasan dokter.
Sebagai contoh, obat golongan benzodiazepine seperti dumolid memiliki efek samping umum yaitu pusing, gangguan psikomotor dan risiko jatuh, gangguan daya ingat, konsentrasi yang buruk, amnesia hingga penumpulan emosi. Tanpa pengawasan dokter, efek-efek samping tersebut bisa dialami oleh penyalahguna obat.
Di sisi lain, penyalahgunaan obat juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ di dalam tubuh. Beberapa organ yang mungkin terpengaruh adalah otak dan ginjal.
Kerugian kedua akibat penyalahgunaan obat adalah kerugian dari segi hukum. Pelaku penyalahgunaan obat psikotropika misalnya, dapat dijatuhi hukuman karena ketentuan penggunaan obat psikotropika sudah diatur ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 maupun Peremenkes RI Nomor 3 Tahun 2017.
"Jadi, apabila tidak menggunakan resep, bisa dikenai hukuman, karena ini adalah obat resep dokter," lanjut Adhi.
Penyalahgunaan obat yang cukup masif juga dapat berujung pada kelangkaan obat yang bersangkutan. Kondisi ini tentu sangat merugikan pihak pasien maupun dokter.
Di satu sisi, pasien yang benar-benar membutuhkan obat tersebut akan sulit mendapatkan akses karena obat sulit ditemukan. Di sisi lain, para dokter juga akan kesulitan karena modalitas terapi untuk pasien menjadi berkurang atau bahkan hilang.
Hal ini sudah terjadi pada obat trihexyphenidyl. Adhi mengatakan saat ini obat trihexyphenidyl sangat sulit ditemukan karena sebelumnya cukup banyak disalahgunakan oleh sebagian masyarakat.
"Kalau memang obat dokter disalahgunakan, seharusnya regulasi atau pengawasannya yang ditingkatkan, bukan obat itu dihilangkan dari pasaran," ujar Adhi.
Untuk menghindari dua kerugian besar ini, Adhi mengimbau agar masyarakat tidak tergoda untuk melakukan self medication ataupun penyalahgunaan obat. Masyarakat yang mengalami masalah gangguan jiwa seperti depresi, kecemasan hingga insomnia sebaiknya memeriksakan diri ke dokter spesialis kejiwaan.
Melalui pengawasan dokter, keamanan pasien jauh lebih terjamin karena dosis obat yang diberikan telah disesuaikan dengan kondisi medis pasien. Di sisi lain, perkembangan klinis dari penyakit ataupun gangguan yang diderita pasien juga akan terpantau dengan baik dengan oleh dokter.