REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perokok pasif memiliki peluang yang sama dengan perokok aktif terkena penyakit berbahaya terkait rokok seperti asma, kanker paru dan lainnya.
"Saya tidak merokok, tapi dokter memvonis saya terkena asma tidak murni, penyebabnya karena rokok," kata Ibnu Haikal dalam diskusi interaktif ruang publik yang berlangsung di Jakarta, Rabu (9/8).
Haikal divonis terkena asma tidak murni sejak duduk di bangku SMP. Hingga kini usianya 26 tahun penyakit itu masih sering kumat. Ketika divonis dokter terkena Asma, orang tuanya sempat curiga kalau dirinya merokok. Haikal berasal dari keluarga yang tidak merokok mulai dari kakek hingga bapak dan seluruh kerabatnya.
Setelah ditelurusi, paparan asap rokok didapatkan selama mengendarai angkutan kota. Hampir setiap hari menggunakan angkot berangkat dan pulang sekolah. Butuh waktu 30 menit sekali perjalanan.
Kondisi serupa berlangsung hingga SMA, lokasi sekolah cukup jauh dari rumah memakan waktu satu jam perjalanan. "Setiap kali naik angkot saya bertemu dengan bapak sopir yang merokok, penumpang merokok," katanya.
Haikal mengatakan, penderita asma sangat menyiksa. Dalam sebulan dia bisa terserang asma selama tiga minggu dan hanya seminggu bisa merasakan bernafas dengan normal. "Orang normal nafasnya mungkin enak, kalau asma sudah kumat, untuk bernafas butuh tenaga. Bayangkan, kalau capek bisa berhenti nafas," kata Haikal.
Penggagas petisi hak perokok pasif Ellysabeth Ongkojoyo berani mengucilkan para perokok sebagai bentuk menyuarakan hak perokok pasif untuk mendapatkan udara sehat bebas asap rokok.
Pengalaman itu yang mendorongnya membuat petisi hak perokok pasif ketika dirinya harus terlibat cekcok dengan perokok yang merokok di ruang berpendingin. "Sayangnya waktu itu belum ada aturan KTR, jadi saya harus berjuang melindungi anak saya dari paparan asap rokok, saya buat petisi," katanya.
Menurut Elly, dirinya berasal dari keluarga perokok berat, mulai dari kakak hingga papinya juga seorang pencandu rokok. Tetapi walaupun perokok, sejak ada aturan larangan merokok di tujuh kawasan, papinya berusaha untuk merokok pada tempat-tempat yang tidak mengganggu kenyamanan orang lain.
"Papi saya yang usianya 63 tahun, walau merokok tapi dia bela-belain keluar cari tempat untuk merokok, diparkiran lah, yang penting tidak mengganggu orang lain," katanya.
Sejak petisinya mendapat banyak dukungan dari mereka yang menjadi korban asap rokok, Elly mengedukasi semua orang, mulai dari teman, kerabat, termasuk anak-anaknya untuk berani menyuarakan hak perokok pasif.
"Anak-anak saya ajarkan, kalau ada yang merokok ditegur. Saya juga menghindari orang-orang yang sulit diberitahu untuk tidak merokok di ruangan, termasuk menghindari pusat-pusat belanja dan restoran yang tidak menerapkan KTR," katanya.
Merusak Kesehatan
Dokter spesialis paru Rumah Sakit Persahabatan dr Feni Fitriani Taufik, Sp.PK mengatakan sebatang rokok mengandung 4.000 zat berbahaya bagi kesehatan. Bahan-bahan berbahaya tersebut jika masuk ke dalam tubuh akan merusak kesehatan.
"Terutama anak-anak sangat rentan, risiko terkena asma jadi lebih besar atau kena infeksi telinga. Pada bayi yang baru lahir bisa mati mendadak. Bayi yang tadinya tidak apa-apa, bisa meninggal. Pada ibu hamil risikonya keguguran, lahir cacat pula," katanya.
Dialog interaktif ini juga dihadiri sejumlah penderita kanker larik, seperti Zainuddin dan Edison dari Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI).
Edison dan Zainuddin kini hidup dengan bernafas melalui tenggorokan. Kanker larik yang dideritanya berasal dari rokok, walaupun keduanya tidak merokok.