REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Munculnya terobosan yang menemukannya obat hepatitis C, yaitu obat antivirus dari golongan Direct Acting Antivirus (DAA), membuat target terapi hepatitis C saat ini adalah kesembuhan. Mengapa? Respon terapi dengan DAA sangat tinggi, mencapai di atas 90 persen bahkan 98 persen. Keunggulan DAA antara lain efek samping sangat rendah dan mudah dikonsumsi karena dalam bentuk sediaan oral.
Beberapa DAA sudah teregistrasi di BPOM di antaranya sofosbuvir dan simeprevir, serta beberapa yang tengah dalam proses registrasi. “Tetapi obat-obatan ini tidak dapat diberikan pada penderita hepatitis C yang disertai PGK, karena semuanya disekresi di ginjal sehingga memperburuk kondisi ginjal mereka yang memang sudah bermasalah. Padahal terapi hepatitis C pada pasien PGK sangat direkomendasikan agar mereka dapat menjalani transplantasi ginjal,” jelas DR. dr. Rino Alvani Gani, SpPD-KGEH, hepatolog yang saat ini menjadi Ketua Komite Ahli Heptitis di Kementerian Kesehatan RI yang juga Kepala Divisi Hepatobilier di RSCM/FKUI Jakarta dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (8/9).
Sebenarnya, lanjut mantan ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) ini, sudah ada obat dari golongan DAA terbaru yang aman diberikan pada pasien PGK yaitu Grazoprevir + Elbasvir. Obat ini disekresi di hati sehingga aman untuk ginjal, dan memiliki efektivitas setara dengan DAA lainya. Tetapi obat ini masih terkendala ijin edarnya dan saat ini masih menunggu proses registrasi di BPOM. Rino berharap sebelum akhir tahun ini grazoprevir+ elbasvir dapat mengantongi ijin edar sehingga dapat diakses pasien yang memerlukan.
Dengan tersedianya obat untuk penderita hepatitis C yang juga menderita PGK, diharapkan tidak ada lagi kelompok pasien yang tidak mendapatkan terapi optimal, sehingga target eliminasi hepatitis di tahun 2030 dapat tercapai. "Target di tahun 2030 untuk eliminasi hepatitis itu mencakup semua jenis infeksi hepatitis. Untuk eliminasi sampai 0 persen memang tidak mungkin. Namun tujuannya adalah menurunkan jumlah penderita sebanyak mungkin, untuk menekan beban biaya kesehatan. Program pemerintah dalam hal ini Kemenkes melalui Kasubdit Hepatitis sudah benar, hanya mungkin kendalanya di sumber daya manusia yang menjalankan program ini. Jadi saya kira ini tugas kita bersama agar semua pihak mendukung program eliminasi hepatitis, termasuk masyarakat sipil, media massa, tenaga kesehatan, dan instansi terkait,” papar Rino.
Program skrining dan promosi kesehatan yang terkait dengan hepatitis menurut Rino harus menjadi prioritas.