Ahad 22 Oct 2017 06:11 WIB

Penderita Hepatitis Sering Alami Diskriminasi Kerja

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Pemeriksaan hepatitis di Bogor, Jumat (11/12)
Foto: ANTARA FOTO/Jafkhairi
Pemeriksaan hepatitis di Bogor, Jumat (11/12)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penderita hepatitis B dan C kerap menerima diskriminasi di tempat kerja. Cukup banyak yang tidak diterima bekerja, tidak bisa naik pangkat, atau tidak diterima menjadi pegawai tetap bila hasil skrining menunjukkan hepatitis B atau C positif.

"Dalam satu tahun, rerata bisa ada 10 keluhan diskriminasi di tempat kerja," ujar Marzuita dari Komunitas Peduli Hepatitis (KPH), dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id. Ia memaparkan masih begitu banyak stigma negatif di masyarakat untuk hepatitis B atau C.

Kedua penyakit ini masih dianggap sebagai aib atau hal yang menakutkan. Banyak yang keluarganya merasa takut dikucilkan, karena takut dianggap sebagai sumber penularan penyakit, tuturnya.  Ia bahkan pernah menerima surat salah satu SMA di Bogor mengenai persyaratan penerimaan, yang menyatakan bahwa calon murid harus bebas dari HIV/AIDS dan hepatitis.

Dr dr Kasyunil Kamal, M.S, Sp.OK dari PERDOKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Okupasi) menambahkan skrining hepatitis B dengan HBsAg bukanlah parameter yang harus dilakukan saat rekrutmen. "Sudah ada Surat Edaran dari Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan ketenagakerjaan tahun 1997 Peniadaan hepatitis B dalam pemeriksaan kesehatan tenaga kerja," ucapnya.

Pemeriksaan hepatitis diperlukan hanya untuk jenis pekerjaan tertentu seperti bidang medis atau pengolahan makanan. Bila hasilnya positif, bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan fungsi hati misalnya dengan SGOT/SGPT, untuk orang yang akan bekerja di tempat berat atau perlu berpaparan dengan bahan kimia, karena akan memperberat kerusakan hatinya.

Namun, skrining maupun pemeriksaan fungsi hati tidak diperlukan untuk semua jenis pekerjaan. Apalagi untuk pekerjaan kantoran, harusnya tidak perlu pemeriksaan HBsAg. "Kenapa ada perusahaan yang masih melakukannya, entah dimulai dari mana. Saya rasa itu berlebihan, mereka sendiri tidak tahu apa fungsinya," tuturnya.

Ia melanjutkan, selama tidak ada peradangan, penderita hepatitis masih dapat bekerja seperti biasa. "Yang penting, kesehatan mereka harus selalu dimonitor dan dilakukan antisipasi semisal ada hal-hal yang bisa memberatkan penyakit. Bukannya dipecat," tegasnya.

Kasyunil menegaskan ini tidak hanya berlaku untuk penyakit hepatitis saja, melainkan juga penyakit kronis lain seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, dan lainnya. Alasan diterima atau tidaknya harus dengan alasan kuat. Misalnya pekerjaan tersebut akan memperberat penyakit, bisa menularkan ke teman-teman, atau mengimbulkan risiko keselamatan kerja bagi lingkungan kerja maupun masyarakat. Tidak sesederhana itu tidak diterima, imbuhnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement