REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat kekurangan zat gizi mikro (micronutrient) masih terjadi. Dirjen Farmasi dan Alat Kesehatan Kemenkes, Maura Linda Sitanggang mengatakan,defisiensi zat gizi mikro sebenarnya terjadi sejak dulu.
Micronutrient yang ia maksud yaitu vitamin dan mineral. Menurutnya, mengonsumsi makanan yang lengkap belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan zat gizi mikro. Ini semakin diperparah dengan banyak kasus di mana orang tidak sadar bahwa mereka tengah kekurangan zat gizi mikro.
"Padahal, kekurangan zat gizi mikro mempengaruhi metabolisme dan menyebabkan masalah kesehatan seperti gangguan jantung dan penyakit lainnya," katanya saat konferensi pers acara Eat Asia-Pacific Food Forum, di Jakarta, Selasa (31/10).
Oleh karena itu, ia menyebut ada berbagai intervensi yang bisa dilakukan sesuai dengan status nutrisi dan masalah kesehatannya. Diantaranya seperti suplementasi, fortifikasi, dan biofortifikasi, pendidikan nutrisi, modifikasi/diversifikasi pangan, dan penyediaan pangan.
Kemudian pangan fungsional yaitu pangan yang memberikaj manfaat kesehatan diluar zat-zat gizi dasar yang terkandung di dalamnya dan phytochemical yaitu zat yang ditemukan di dalam sayur dan buah untuk melawan radikal bebas di dalam tubuh nisa menjadi alternatif dalam strategi baru mempercepat mitigasi kebiasaan konsumsi yang tidak sehat di kawasan Asia Pasifik. Ke depannya, kata dia, perlu dikembangkan teknologi dan riset.
"Salah satu contoh teknologi yang perlu dikembangkan adalah bagaimana memproses sisa makanan kulit dan biji menjadi zat gizi mikro," ujarnya.
Ia menyontohkan kulit buah manggis yang dibuang itu ternyata mengandung antioksidan. Kini memang sudah mulai ada produksi suplemen kilit manggis dan yang sampai diekspor. Kemudian kulit melinjo yang keras ternyata memiliki manfaat dan biji buah pepaya yang juga diklaim bisa menjadi obat.
Kemenkes sebagai regulator makanan dan kesediaan farmasi diakuinya mengundang semua pihak berperan serta untuk mempercepat produksi dan memproses sisa makanan kilit dan biji buah menjadi zat gizi mikro. Termasuk Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristeks Dikti), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hingga swasta.
Untuk itu, kata dia, Kemenkes mengundang asosiasi produsen suplemen kesehatan Indonesia. Tak hanya itu, akademisi, peneliti, organisasi non-pemerintah (NGO) juga diundang di acara dan fotum diskusi ini. Academia juga diundang, peneliti, NGO yang punya ketertarikan suplemen kesehatan sisa makanan. Kemudian, jika memproduksinya harus terdaftar di BPOM karena badan ini yang akan mengujinya.
"Untuk di Indonesia (produknya) harus terdaftar di BPOM karena yang melaksanakan penilaian terhadap produknya dan Kemenkes memberikan kebijakannya," katanya.