REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asam lemak omega 3 diketahui memiliki manfaat dalam mendukung beragam proses penting dalam otak. Tak heran, suplemen asam lemak omega 3 menjadi salah satu suplemen yang paling populer dan paling banyak dikonsumsi.
Berdasarkan beragam penelitian, asam lemak omega 3 bernama EPA dan DHA serta matabolitnya terbukti mempengaruhi ekspresi gen, stres oksidatif, aliran darah di serebral, kadar neurotransmiter hingga proses-proses lain yang berkaitan dengan otak. Salah satunya produksi neuron baru.
Secara khusus, DHA juga merupakan blok pembentuk penting bagi membran sel otak. Dalam tingkat molekular, otak tidak dapat bertahan tanpa asam lemak omega 3.
Hanya saja, belum banyak penelitian yang dilakukan terkait manfaat asupan asam lemak omega 3 melalui pola makan maupun suplemen. Oleh karena itu, belum ada bukti ilmiah yang cukup terkait manfaat konsumsi asam lemak omega 3 terhadap otak.
"Bukti terhadap asupan (asam lemak omega 3) dari makanan dan suplemen belum meyakinkan," ungkap associate professor sekaligus direktur dari Center for Brain Plasticity di University of Illinois Aron Barbey seperti dilansir Time.
Penelitian yang Barbey lakukan berhasil menemukan bahwa kadar omega 3 yang tinggi dalam darah dapat meningkatkan fungsi kognitif sekaligus meningkatkan volume pada struktur otak tertentu. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan Barbey ini sangat korelasional.
Artinya, penelitian ini tidak dapat membuktikan apakah konsumsi omega 3 dari suplemen bahkan makanan dapat memberi manfaat. Terkait penelitian ini, Barbey mengatakan belum melakukan percobaan acak untuk membuktikan apakah omega 3 dari makanan dapat memberi perubahan positif bagi otak.
Studi lain juga telah dilakukan terhadap orang tua sehat selama dua tahun. Para orang tua sehat ini mengonsumsi suplemen DHA 500 gram dan EPA 200 gram setiap hari. Namun, hasil studi menunjukkan bahwa konsumsi kedua suplemen secara rutin tidak meberikan perubahan signifikan terhadap fungsi kognitif dibandingkan plasebo.
Dr Matthew Muldoon juga pernah melakukan studi terhadap kelompok paruh baya yang memilki pola makan rendah asupan omega 3. Setelah 18 minggu mengonsumsi suplemen EPA dan DHA, tim peneliti tidak menemukan adanya manfaat konsumsi suplemen bagi otak para partisipan. Hanya saja penelitian ini dinilai memiliki kelemahan terkait durasi penelitian yang pendek, yaitu empat bulan.
"Mungkin saja omega 3 membutuhkan lebih dari empat minggu untuk masuk ke dalam sel otak, atau mungkin saja (asupan omega 3) berkaitan dengan efek jangka panjang di mana konsumsi asam lemak omega 3 di usia 20-an akan mempengaruhi kesehatan otak ketika Anda berusia 30-an atau 40-an," pungkas Barbey.
Ada pula penelitian yang menunjukkan bahwa asupan suplemen omega 3, khususnya yang tinggi akan EPA, dapat membantu pasien dewasa yang depresi merasa lebih baik. Akan tetapi, efek ini tidak ditemukan pada orang dewasa lain yang terbukti secara klinis tidak mengalami depresi.
Terlepas dari beragam temuan ini, asupan asam lemak omega 3 dalam jangka panjang dinilai masih dapat memberi manfaat baik bagi kesehatan maupun fungsi otak. Hanya saja, belum diketahui secara pasti mengenai jumlah dan tipe omega 3, berapa lama waktu yang dibutuhkan serta cara terbaik untuk mendapatkan manfaat dari omega 3 yang berasal dari makanan.
Namun, para ahli sepakat bahwa mendapatkan asupan asam lemak omega 3 dari makanan sehat lebih baik dibandingkan suplemen. Beberapa sumber asam lemak omega 3 yang dinilai baik untuk dikonsumsi adalah ikan berlemak seperti salmon, trout dan sardin. Sudah ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa orang tua yang banyak mengonsumsi ikan cenderung memiliki kesehatan otak yang lebih baik dibandingkan orang tua yang sedikit mengonsumsi ikan. Meskipun penelitian ini tidak secara spesifik menunjukkan bahwa ikan yang benar-benar berperan dalam menyehatkan otak.
"Manfaat yang terlihat dalam penelitian seperti ini bisa datang dari mengonsumsi ikan, atau dari tidak terlalu banyak mengonsumsi daging merah, atau mungkin pengonsumsi ikan datang dari kalangan sosioekonomi lebih tinggi. Kita membutuhkan lebih banyak penelitian untuk menyimpulkan apakah DHA atau EPA memberikan manfaat," jelas Barbey.