REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam beberapa bulan terakhir, diet karnivora mulai menyita perhatian para pengguna sosial media. Sudah ada sekitar 30 ribu unggahan dalam tagar #carnivorediet di Instagram yang mengulas berbagai manfaat kesehatan dari diet karnivora.
Salah satu klaim manfaat diet karnivora adalah penurunan berat badan. Diet karnivora juga dikatakan dapat menurunkan inflamasi, meningkatkan libido hingga menurunkan tekanan darah.
Seperti namanya, diet karnivora merupakan pengaturan pola makan yang hanya terdiri dari daging. Tak ada karbohidrat, buah maupun sayuran di dalam pengaturan pola makan yang merupakan 'evolusi' dari diet keto dan paleo ini.
Meski sebagian orang memberi ulasan positif, para ahli menilai diet karnivora justru menyimpan risiko yang membahayakan kesehatan di masa mendatang. Terlebih, belum ada bukti ilmiah yang menyatakan bahwa diet karnivora memang memiliki manfaat kesehatan.
Profesor di bidang gizi, Rachele Pojednic, mengatakan ada beragam kekhawatiran di balik meningkatnya popularitas diet karnivora. Pojednic menilai salah satu risiko terbesar di balik diet karnivora adalah kanker usus besar.
"Namun kita belum memiliki data-data untuk ini dalam beberapa tahun ke depan," ungkap Pojednic, seperti dilansir Independent.
Mengingat diet karnivora berfokus pada daging-daging berlemak, ada risiko lain berupa peningkatan kadar kolesterol LDL yang perlu diwaspadai. Peningkatan kadar kolesterol LDL dapat berakibat pada meningkatnya risiko penyakit jantung dan serangan jantung.
"Satu hal yang tak bisa Anda abaikan adalah ada beberapa nutrisi yang tidak bisa Anda dapatkan hanya dari daging," kata ahli gizi dari Harley Street, Rhiannon Lambert.
Ketika seseorang hanya mengonsumsi daging, Lambert mengatakan orang tersebut akan mengalami kekurangan asupan folat, vitamin C, vitamin E dan serat yang penting bagi kesehatan tubuh. Serat contohnya, memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan usus.
Selain beragam risiko kesehatan, penerapan pola makan yang bersifat sangat restriktif seperti ini juga dapat memicu terjadinya gangguan makan. Pola makan seperti ini juga dapat menciptakan hubungan yang tidak sehat antara seseorang dengan makanan.
Lambert menilai saran dari influencer di sosial media yang keliru dapat berpotensi merusak. Sebagai contoh, influencer bernama Mikhaila Peterson mengklaim bahwa diet karnivora yang ia jalani berhasil menyembuhkan arthritis dan depresi yang ia derita meski tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaimnya itu.
"Influencer memiliki tanggung jawab untuk tidak menyesatkan orang-orang dengan saran anekdot (saran yang tidak didasari bukti ilmiah dan berpotensi merugikan)," jelas Lambert.
Lambert menekankan bahwa tiap individu memiliki tubuh yang unik dan berbeda. Tiap individu bisa memberikan reaksi yang berbeda terhadap beragam makanan. Makanan yang memberi dampak baik pada satu orang belum tentu memberikan dampak yang sama pada orang lain.
Karena itu, Lambert menyarankan agar masyarakat tidak ikut-ikutan mengadopsi suatu tren kesehatan yang hanya berdasarkan testimoni dan tidak didukung bukti ilmiah. Sebelum mengadopsi suatu pengaturan pola makan atau diet, sebaiknya masyarakat meminta saran dari tenaga profesional seperti ahli gizi atau dietitian.
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement