REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Kita hampir tidak pernah menganggap rasa bersalah sebagai sesuatu yang harus disyukuri. Kita selalu diajarkan untuk belajar untuk memaafkan diri sendiri karena kekurangan dan kegagalan seseorang.
Meski begitu ternyata ada keuntungan yang mengejutkan di balik merasa bersalah. Seperti yang dilansir melalui Mindbodygreen , ada penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Personality and Social Psychology, menemukan kecenderungan untuk mengantisipasi rasa bersalah adalah salah satu indikator paling jelas dari kepercayaan.
Dalam enam percobaan yang berbeda, para peneliti mengamati cara para peserta membuat keputusan di seluruh
permainan dan survei yang terkait dengan uang dan menemukan mereka yang lebih rentan terhadap kesalahan juga lebih mungkin mengembalikan uang kepada orang lain.
Kecenderungan untuk mengharapkan rasa bersalah lebih berkorelasi dengan seberapa andal seseorang daripada sejumlah sifat kepribadian lainnya, termasuk keterbukaan, keterbukaan, keramahan, neurotisisme, dan ketelitian. Ada kesamaan antara selalu merasa bersalah dengan rasa tanggung jawab seseorang.
Orang yang selalu merasa salah juga umumnya bertanggung jawab terhadap orang lain. Khususnya soal tindakan yang bisa mempengaruhi orang lain.
Orang-orang ini secara alami cenderung lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. Itu cara yang cukup positif untuk memutar konsep rasa bersalah. Benevolence (keinginan untuk menjadi baik) dan integritas (keinginan untuk menjunjung standar etika) juga memicu kekhawatiran orang tentang rasa bersalah dan kepercayaan mereka selanjutnya.
Ahli terapi juga menyebutkan menyimpan rasa bersalah berbeda dengan selalu merasakannya. Kalau yang pertama dapat menyebabkan kita menderita jika kita memikirkan kesalahan masa lalu dan tidak dapat belajar untuk memaafkan dan menerima diri kita sendiri. Tetapi yang terakhir dapat membantu kita memeluk empati lebih penuh, bertindak lebih penuh kasih terhadap orang lain, dan menghindari menyebabkan bahaya lainnya karena kecerobohan.