Senin 15 Oct 2018 16:38 WIB

Bayi Kembar Dempet Kepala dari Aceh tak Bisa Dipisahkan

Otak yang menyatu lebih dari 70 persen sehingga sangat berisiko.

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Yusuf Assidiq
Jumpa pers penanganan kembar siam dempet kepala yang berasal dari Aceh, di Ruang Bulat, RSUP Dr Sardjito.
Foto: Neni Ridarineni.
Jumpa pers penanganan kembar siam dempet kepala yang berasal dari Aceh, di Ruang Bulat, RSUP Dr Sardjito.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Bayi kembar siam dempet kepala (craniopagus) bernama Fitri Rahmawati (FR) dan Fitri Sakinah (FS) asal Kutacane, Aceh Tenggara, yang lahir pada 2 Mei 2015 tercatat sudah lima kali menjalani operasi. Namun, sampai sekarang belum berhasil dipisahkan.

FR dan FS kini sudah berusia tiga tahun lima bulan. Mereka pun telah tumbuh dan berkembang, bisa berjalan sendiri, bicaranya banyak, dan pintar. Bahkan, salah satu dari kedua anak tersebut skor inteligensinya mencapai 127.

“Konsultasi internasional dilakukan kepada pakar bayi kembar siam craniopagus dari Amerika, Prof Goodrich, bahkan dia didatangkan ke RSUP Dr Sardjito," ujar Ketua Tim Medis bayi FS dan FR, Prof Sunartini Hapsara, saat jumpa pers penanganan kembar siam dempet kepala yang berasal dari Aceh, di Ruang Bulat, RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, Senin (15/10).

Mengutip Prof Goodrich, lanjut Sunartini, kondisi FR dan FS saat ini tidak sederhana, sangat kompleks, dengan otak yang menyatu lebih dari 70 persen sehingga sangat berisiko. Ia mengatakan, penanganan bayi kembar siam itu sejak awal dirahasiakan dan baru disampaikan sekarang karena sudah seizin orang tua dan tim medis yang menangani.

Bayi FR dan FS anak pasangan dari SP (32 tahun) dan SH sebelumnya dirawat dan dilakukan tindakan di tiga rumah sakit. Antara lain, RSUD Dr Zaenoel Abidin Banda Aceh, RSPAD Gatot Subroto, dan RSUP Dr Sardjito.

“Kolaborasi tiga rumah sakit tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Tim Penanganan Bayi Kembar Siam atas nama FR dan FS,” kata Sunartini.

Operasi sudah berjalan lima kali. Menurutnya, pada tahap pertama dilakukan di RSPAD Gatot Subroto (27 Juni 2015), kedua hingga kelima di RSUP Dr Sardjito (25 Juli 2015, 8 Agustus 2015, 7 September 2015, dan 6 November 2015).

“Namun, karena dari Komite Etik dan Tim Bioetka memberikan pertimbangan khusus, yakni mengutamakan keselamatan bayi dan kedua anak diberi kesempatan oleh Allah untuk tetap hidup serta setiap tindakan selalu atas izin orang tua, maka kedua bayi tersebut tetap dipertahankan hidup dengan kepala dempet,” ujar Sunartini.

Dikatakan, sejauh ini tim penanganan bayi kembar siam tidak menyerah untuk melakukan penanganan yang terbaik bagi FS dan FR. Bahkan, selama proses perawatan, bayi FS dan FR mengalami perbaikan dan tidak ada kendala dalam hal proses tumbuh kembang.

“Atas ridha Allah SWT, FS dan FR telah dapat berjalan sendiri, bahkan setengah berlari, bicaranya banyak dan apabila ditanya cepat menjawab,” katanya.

Menurut Penanggung Jawab Penanganan Medis Bayi Kembar Siam FR dan FS, Endro Basuki, berdasarkan simulasi, kasus kembar siam FR dan FS ini unik dan paling berat. Karena, pembuluh darah di otak bercampur sehingga tidak bisa dipisahkan dan harus mengorbankan salah satunya, dan kemungkinan juga terjadi kecacatan.

Di samping itu, fungsi ginjal bayi FR dan FS yang satu kurang fungsional. Padahal, ginjal yang fungsional akan menyuplai yang otaknya kurang fungsional.

"Kami sudah melakukan diskusi dengan para ahli dari Indonesia, bahkan dari luar negeri. Allah sudah memberi hak hidup kepada kedua orang ini. Tindakan lima kali operasi telah membuat tulang di kepala mereka menjadi fleksibel dan mudah digerakkan dan membuat mereka bisa berjalan dan anak bisa tumbuh kembang dengan baik, seperti halnya anak normal,” ujar Endro menjelaskan.

Endro menambahkan, hal itu tidak seberapa niatnya untuk menolong. “Kami juga mendapat pelajaran dari kedua bayi kembar siam ini. Sehingga, untuk kelanjutan hidupnya, FR dan FS harus ditangani dengan sebaik-baiknya,” katanya.

Psikolog RSUP Dr Sardjito dan juga Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, Indria Laksmi Gamayanti, menuturkan, nilai inteligensia kedua anak tersebut cukup tinggi dan salah satu dari kedua kembar siam tersebut nilai inteligensinya 127.

"Mereka sudah bisa memilih mau pakai baju warna apa, sepatu seperti apa. Dan, kadang keinginannya tidak sama," ujarnya.

Menurut Gamayanti, sejak awal kedatangan FR dan FS, keluarga FR dan FS dan pihaknya sudah melakukan pengamatan serta pendampingan, terutama untuk menyiapkan orang tua dan kakak FR dan FS. Demikian juga terhadap FR dan FS, disiapkan tim psikologi yang selalu melakukan pemantauan perkembangan dan kondisi psikologis FR dan FS dalam penanganan yang komprehensif.

"Psikoedukasi dilakukan untuk meningkatkan penerimaan oran gtua akan keadaan anaknya dan proses adaptasi," kata dia.

Diakui Direktur Utama RSUP Dr Sardjito, Darwito, atas kerja keras dari berbagai multidisiplin, bayi kembar FR dan FS bisa melampaui usia tiga tahun. Namun, untuk kehidupan selanjutnya, FR dan FS harus beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya serta membutuhkan perawatan yang terbaik dan tentu saja biaya yang tidak sedikit.

Dengan demikian, atas izin orang tua, kondisi kedua anak ini bisa disampaikan kepada media massa. Menurut Darwito, sampai 11 Oktober 2018, donatur yang masuk untuk penanganan FR dan FS sebesar Rp 550 juta, untuk pembiayaan operasional sekitar Rp 436 juta, dan untuk biaya perawatan dan nonoperasional sekitar Rp 1,9 miliar. Sehingga, saldo minus Rp 1,8 miliar.

“Meskipun minim, tetapi RSUP Dr Sardjito sebagai rumah sakit pemerintah harus dan hadir dan ini menjadi kewajiban kami,” tuturnya.

Sebelum kembali ke Aceh, FR dan FS akan disiapkan dalam kehidupan yang normal di masyarakat dan masyarakat harus siap menerima, bagaimana menghargai hak-hak anak dengan tanpa melakukan diskriminasi. Untuk itu, Lembaga Pemberdayaan Anak (LPA) DIY akan menyiapkan tempat bagi FR dan FS agar bisa bergaul dengan anak-anak lain tanpa diskriminasi dan tidak jadi objek atau diperlakukan yang berbeda.

Rencananya, mereka akan disiapkan oleh LPA sekitar enam bulan. Setelah itu, mereka bisa kembali ke Aceh. Wakil Direktur Pelayanan Medik RSU Zaenoel Abidin Banda Aceh Rusdi Andib, mengatakan, sebelum FR dan FS kembali ke Aceh, pihaknya akan membawa tim ke RSUP Dr Sardjito untuk belajar dengan tim yang menangani FR dan FS supaya FR dan FS bisa tumbuh dengan optimal.   

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement