REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah menjalani operasi pengangkatan tumor, pasien kanker lazimnya menjalani kemoterapi atau penggunaan zat kimia untuk perawatan penyakit. Tes darah tertentu diyakini bisa menentukan apakah pasien membutuhkan kemoterapi atau tidak.
Cara kerjanya, dengan mendeteksi keberadaan sisa sel kanker dalam tubuh setelah operasi serta kondisi yang bisa menyebabkan kanker kembali. Tes serupa sudah diuji coba di 40 rumah sakit di Australia dan Selandia Baru.
Selama ini, belum ada cara yang dapat diandalkan untuk mengetahui pasien mana yang berpotensi kembali mengalami kanker usai operasi. Kemoterapi akhirnya dilakukan sebagai pencegahan guna membersihkan sel kanker yang kemungkinan tetap ada.
Sayangnya, kemoterapi memiliki sejumlah efek samping. Dalam jangka pendek, pasien bisa mengalami rasa sakit, kelelahan, mual, gangguan pencernaan, pendarahan, dan lebih rentan infeksi. Masalah jantung, paru-paru, saraf, memori, dan kesuburan menjadi efek jangka panjang.
Oleh sebab itu, tes darah yang mendeteksi keberadaan "DNA tumor yang beredar" atau ctDNA ini sangat membantu. Pasien dengan hasil tes positif memiliki risiko sangat tinggi untuk kambuh, sementara mereka yang hasilnya negatif berisiko kurang dari 10 persen untuk kambuh.
Uji coba tes darah dilakukan terhadap pasien kanker usus stadium awal sejak 2015, pasien kanker ovarium sejak 2017, dan direncanakan untuk pasien kanker pankreas. Hasilnya juga membantu menentukan skala dosis untuk pasien yang membutuhkan kemoterapi.
Hingga saat ini, terdapat lebih dari 400 pasien kanker yang menjalani tes darah tersebut. Tim menargetkan peserta akan mencapai 2.000 orang dan percobaan akan diteruskan sampai 2021 untuk kanker usus dan 2019 untuk kanker ovarium.
Tes merupakan hasil kolaborasi Walter and Eliza Hall Institute bersama Johns Hopkins Kimmel Cancer Centre di AS. Kehadirannya diharapkan dapat merevolusi perawatan kanker dan tim berencana segera menentukan penerapannya di klinik, dikutip dari laman The Conversation.