REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian baru menemukan penderita kanker di bagian kepala dan leher kerap berakhir dengan bunuh diri. Mereka memiliki kemungkinan dua kali lebih banyak melakukan bunuh diri dibandingkan penderita kanker jenis lain.
"Masalah bunuh diri ini lebih besar dari yang diketahui banyak orang," kata Asisten Profesor Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) di Saint Louis University School of Medicine, Nosayaba Osazuwa-Peters kepada laman Psychcentral.
Peters mengatakan, dalam populasi umum di Amerika Serikat, bunuh diri menjadi satu dari 10 penyebab kematian terbanyak. Hal ini mengejutkan di antara para penderita kanker.
Lebih dari 15,5 juta orang hidup dengan diagnosis kanker. Jumlah korban kanker diproyeksikan lebih dari 20 juta pada 2026.
Menurut penelitian, tiga persen dari pasien kanker merupakan penderita kanker di kepala dan leher. Biasanya setelah diagnosis dan perawatan, kekhawatiran penderitanya sering melampaui batas.
Sekitar setengah penderita kanker kepala dan leher menjadi cacat secara fungsional setelah menyelesaikan pengobatan. Mereka juga tidak lagi bisa kembali bekerja.
Kerusakan tubuh secara terus-menerus dan permanen membuat keterampilan para penderita hilang. Hal itu yang menyebabkan mereka depresi, mendapat tekanan psikologis, dan ketakutan sehingga menimbulkan pikiran untuk bunuh diri.
"Beberapa yang selamat dari kanker justru memutuskan lebih baik mati daripada hidup," ujarnya.
Di dalam penelitian ini penderita kanker diidentifikasi dari Institut Pengawasan, Epidemiologi, dan Hasil Akhir (SIER) 18-registry National Cancer Institute. Peneliti menggunakan data pasien dari 2000 sampai 2014.
SIER merupakan database kanker berbasis populasi yang tersedia secara publik dan berbasis nasional. Data tersebut berisi lebih dari delapan juta kasus kanker dengan data yang menjangkau empat dekade, serta mencakup 28 persen populasi di AS. Studi dilakukan dengan mengamati pasien di atas usia 20 tahun yang memiliki keganasan primer pertama pada kepala dan leher.