Senin 05 Nov 2018 02:35 WIB

Stres Bisa Berdampak Buruk Bagi Otak, Ini Penjelasan Ahli

Stres membuat seseorang memiliki volume otak dan fungsi kognitif menjadi lebih rendah

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Depresi. Ilustrasi
Foto: Sciencealert
Depresi. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Stres itu buruk untuk kesehatan sudah menjadi pengetahuan umum. Namun, sebuah studi baru yang diterbitkan Neurology menguatkan kalau stres mungkin juga berdampak buruk bagi otak.

Studi baru ini menemukan, orang dewasa paruh baya dengan tingkat kortisol tertinggi memiliki volume otak dan fungsi kognitif yang lebih rendah daripada orang dengan tingkat hormon yang lebih rendah. Artinya, ini menunjukkan keterlibatan stres yang menjadi akar masalah. 

Hormon kortisol terlibat dalam berbagai proses tubuh yang normal, termasuk metabolisme, kekebalan dan pembentukan ingatan. Namun, ekstra kortisol juga dilepaskan sebagai respons terhadap stres, yang mengarah ke tingkat yang lebih tinggi secara keseluruhan.

Meskipun penelitian ini tidak mengikuti untuk melihat pengembangan demensia, efek ini bisa menjadi pendorong penurunan kognitif di kemudian hari. Rekan penulis studi Dr. Sudha Seshadri menyatakan "Kami sebelumnya telah menunjukkan perubahan sebesar ini memprediksi tingkat demensia mental, bahkan cedera otak vaskular, dua atau tiga dekade kemudian," dikutip dari Time, Senin (5/11).

Penelitian ini melibatkan lebih dari 2.200 orang dewasa yang berpartisipasi dalam Framingham Heart Study dengan usia rata-rata 48 tahun. Setiap orang menjalani pemeriksaan psikologis, yang menguji memori dan kemampuan berpikir, pada awal penelitian hingga  delapan tahun kemudian. Mereka juga memberikan sampel darah, yang digunakan para peneliti untuk mengukur kadar kortisol dan mayoritas memiliki scan MRI untuk mengukur volume otak.

Setelah menganalisis hasil penilaian tersebut dan menghitung informasi demografi dan kesehatan, peneliti menemukan hubungan antara peningkatan kadar kortisol dan volume total otak yang lebih rendah dan skor yang lebih rendah pada tes memori dan kognisi. Tidak ada peserta dalam penelitian ini menunjukkan gejala demensia.

"Kenyataan dalam rentang ini, memiliki tingkat kortisol yang lebih tinggi dikaitkan dengan perubahan fungsi otak pada awal kehidupan adalah baik mengkhawatirkan dan kesempatan,” kata profesor neurologi di UT Health San Antonio

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Salah satunya, penelitian itu observasional, yang berarti hanya melihat hubungan dan tidak dapat membuktikan sebab dan akibat.

Studi itu hanya mengukur kadar kortisol darah selama periode penelitian, sehingga mereka tidak dapat menilai perubahan dari waktu ke waktu, atau bahkan tingkat kortisol rata-rata peserta. Ditambah lagi, mayoritas peserta penelitian berkulit putih dan tinggal di wilayah umum yang sama, sehingga mereka tidak mewakili populasi total Amerika Serikat.

Namun, Seshadri mengatakan, asosiasi itu menunjukkan stres mungkin berada di belakang perubahan otak yang mengkhawatirkan. Kadar kortisol yang dianggap tinggi dalam penelitian itu konsisten dengan yang orang dewasa dilihat dalam kehidupan sehari-hari.

“Ada satu lagi untaian yang dapat dikerjakan untuk mengurangi dampak demensia pada kesehatan masyarakat. Saya tidak dapat memberi tahu Anda dengan pasti menurunkan kortisol akan selalu menghasilkan manfaat, namun, ini adalah langkah pertama," ujar Seshadri.

Seshadri merekomendasikan untuk bersantai, karena menurunkan stres dapat juga dapat menurunkan kadar kortisol. Aktivitas yang telah terbukti mengurangi stres meliputi meditasi, olahraga, yoga, tidur yang cukup dan mempertahankan kehidupan sosial yang kuat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement