REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan sebagian orang tua yang menghindari vaksinasi untuk anaknya menyebabkan peningkatan 30 persen jumlah kasus campak di seluruh dunia dalam rentang waktu setahun.
Seperti yang dilansir di Independent, Jumat (30/11), sekitar 173 ribu kasus campak secara resmi dilaporkan pada 2017. WHO mengungkapkan dalam laporan, jumlah kasus sebenarnya diperkirakan mencapai 6,7 juta pada tahun lalu.
Diperkirakan 110 ribu orang meninggal tahun lalu, terutama anak-anak, dari penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin. Direktur dari divisi imunisasi, vaksin, dan biologis WHO Martin Friede mengatakan yang lebih mengkhawatirkan dari kasus peningkatan ini adalah penularan campak berkelanjutan di negara-negara yang sebelumnya tidak ada transmisi campak selama bertahun-tahun.
“Ini menunjukkan kemunduran dalam kasus tertentu,” ujar Friede.
Penyakit yang sangat menular bisa berakibat fatal atau menyebabkan pendengaran dan gangguan mental pada anak-anak. Hal ini sering menjadi pertanda dari wabah lainnya seperti difteri pada populasi yang kurang divaksinasi.
Selain itu, WHO mengungkapkan, Jerman, Rusia, dan Venezuela mengalami wabah campak besar tahun lalu. Ini menyebabkan penarikan sertifikasi mereka karena transmisi terganggu.
“Kami melihat data 2018 dan kenaikan ini tampak berkelanjutan sehingga kami khawatir apa yang mungkin dimulai sebagai lonjakan sedang menjadi tren,” kata Friede.
Cakupan vaksin global untuk dosis pertama vaksin campak telah berhenti di angka 85 persen. Cakupan dosis kedua adalah 67 persen. Padahal dibutuhkan 95 persen untuk mencegah wabah.
“Sebagian besar anak-anak yang kehilangan vaksinasi hidup di komunitas termiskin dan paling tidak beruntung diseluruh dunia, banyak di daerah konflik,” kata Ann Lindstrand dari WHO.
Tetapi di beberapa bagian negara Eropa dan Amerika Latin ada kesalahan informasi negatif atau tidak percaya dengan imunisasi. Padahal vaksin tersebut aman.
“Terkadang orang lupa campak adalah penyakit yang mengerikan,” ujarnya.