Selasa 08 Jan 2019 19:00 WIB

Benarkah Menikah Salah Satu Kunci Kebahagiaan?

Peserta yang sudah menikah dan memiliki sahabat menganggap hidup lebih bahagia

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Menikah/ilustrasi
Menikah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Apakah menikah dianggap sebagai kunci kebahagiaan? Tim peneliti dari University College London menggagas studi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Ternyata, banyak responden memberikan jawaban 'ya'.

Sekitar 7.000 peserta berusia 50 sampai 90 tahun diminta menjawab pertanyaan terkait hidup yang bahagia dan bermakna. Studi dianggap penting karena orang yang menganggap hidupnya tidak bermakna mudah terserang penyakit, juga mengidap depresi, insomnia, dan obesitas.

Dari keseluruhan peserta, ada 16 persen yang berstatus menikah dan 13 persen lainnya memilih hidup melajang tanpa pasangan. Peserta yang sudah menikah atau memiliki sahabat dan lingkaran sosial berkualitas cenderung menganggap hidupnya bahagia dan bermakna.

Sebanyak 13 persen peserta mengatakan berjumpa kawan minimal sepekan sekali efektif untuk mendapat perasaan tersebut. Hal lain yang bisa meningkatkan kebahagiaan dan makna hidup adalah menjadi anggota organisasi atau akrab dengan tetangga.

Riset juga menunjukkan peserta yang kurang bahagia menghabiskan waktu dua kali lebih banyak di depan televisi, yaitu rata-rata empat jam dan dua menit sehari. Duduk diam menonton televisi agaknya kurang relevan dengan menemukan makna hidup.

Peneliti meminta peserta memberi skor seberapa bermakna hidup mereka dari angka nol sampai 10. Mereka yang menganggap hidupnya sangat bermakna, dengan skor sembilan atau 10, rata-rata memiliki penghasilan yang lebih tinggi.

Kelompok ini memiliki risiko tiga kali lebih rendah mengidap depresi, juga cenderung tidak mengalami obesitas dan kesulitan tidur. Mereka 11 persen lebih banyak berolahraga, berjalan lebih cepat, makan lebih baik, dan lebih sedikit berisiko mengalami penyakit kronis.

Peneliti menyoroti, memiliki hidup bermakna erat kaitannya dengan menghabiskan waktu bersama banyak orang. Peserta yang memberi skor rendah pada kebahagiaan hidupnya (angka nol sampai dua) lebih sering menyendiri, yakni rata-rata lima jam dan 18 menit.

Jauh berbeda dengan mereka yang memberi skor hidupnya bahagia dan bermakna. Peserta dalam kelompok ini hanya menghabiskan waktu menyendiri di kamar atau rumah selama dua jam dan 46 menit, tentunya tidak termasuk waktu tidur.

Banyak orang menganggap hidupnya lebih bahagia dan bermakna saat mereka menjadi relawan dalam aksi sosial. Begitu pula melakukan aktivitas kebudayaan seperti mengunjungi museum atau menonton pertunjukan teater beberapa bulan sekali.

Hasil penelitian sudah dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. Baik itu menikah, bertemu kawan, menjadi relawan, atau hal lainnya, kunci bahagia dan menemukan makna hidup adalah menjalin hubungan baik dengan orang lain.

"Keterlibatan sosial adalah komponen yang sangat penting dalam menjalani kehidupan yang bermakna. Hal ini amat berpengaruh terhadap kesehatan dan kebahagiaan seseorang," kata pemimpin riset, Profesor Andrew Steptoe, dikutip dari laman Daily Mail.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement