Kamis 17 Jan 2019 07:20 WIB

ASI Eksklusif di Kalangan Pekerja Sangat Rendah, Solusinya?

Minimnya fasilitas laktasi di tempat kerja jadi faktor rendahnya angka ASI eksklusif.

Rep: Adysha Citra Ramadhani/ Red: Indira Rezkisari
Menyusui bukan hanya memberi nutrisi pada bayi, tapi juga memberinya kedekatan dengan sang ibu. Karena itu ibu menyusui perlu didukung agar bisa memberi ASI yang cukup.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Menyusui bukan hanya memberi nutrisi pada bayi, tapi juga memberinya kedekatan dengan sang ibu. Karena itu ibu menyusui perlu didukung agar bisa memberi ASI yang cukup.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan Riskesdas 2013, cakupan ASI eksklusif di Indonesia baru mencapai 32 persen. Jumlah ini masih jauh di bawah target nasional yaitu 80 persen dan target WHO yaitu 50 persen. Cakupan ASI eksklusif di kalangan pekerja perempuan diketahui jauh lebih rendah.

"Pada kalangan pekerja, angkanya semakin rendah, hanya 19 persen, itu penelitian kami (Dept. IKK FKUI, 2015)," papar Dr dr Ray Wagiu Basrowi MKK saat ditemui di IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Baca Juga

Setelah diidentifikasi lebih jauh, rendahnya keberhasilan pemberian ASI eksklusif di kalangan pekerja perempuan disebabkan oleh kurangnya dukungan laktasi di tempat kerja. Ray menilai hal ini terjadi karena belum adanya model promosi laktasi yang jelas dan praktis untuk bisa diterapkan langsung di dalam lingkungan perusahaan.

Menyadari hal ini, Ray terdorong untuk melakukan penelitian demi merumuskan model promosi laktasi yang dapat mendongkrak angka keberhasilan ASI eksklusif di kalangan pekerja perempuan. Penelitian ini melibatkan perusahaan-perusahaan berskala besar dari berbagai sektor, mulai dari perkantoran swasta, perkantoran pemerintah hingga perkantoran perbankan dan pabrik.

"Penelitian ini sudah mewakili sektor-sektor manufaktur dan non manufaktur yang ada. Jadi valid penelitian ini untuk diaplikasi ke skala yang lebih luas," lanjut Ray.

Dari penelitian ini, Ray berhasil merumuskan sebuah model promosi laktasi yang diberi nama Model Basrowi Dkk. Model Basrowi Dkk ini terbukti secara efektif dapat meningkatkan angka keberhasilan ASI eksklusif di kalangan pekerja perempuan menjadi 54 persen.

Salah satu poin yang ditekankan dalam Model Basrowi Dkk adalah perusahaan perlu memberi kesempatan memompa ASI minimal dua kali di luar jam istirahat bagi pekerja perempuan. Ray mencontohkan durasi yang dapat diberikan untuk satu kali memompa di luar jam istirahat adalah 15 menit.

"Jadi di jam makan siang mereka tetap bisa memberikan (memompa ASI), di luar jam makan siang ini juga harus ada (kesempatan memompa ASI)," terang Ray.

Model Basrowi Dkk juga menekankan pentingnya ketersediaan ruang laktasi bagi pekerja perempuan di tempat kerja. Saat ini beberapa perusahaan telah menyediakan ruang laktasi bagi para pekerja perempuan.

Sayangnya, ruang laktasi ini kerap dimanfaatkan untuk fungsi yang lain seperti menjadi mushala atau tempat istirahat bagi pekerja laki-laki. Padahal, fungsi utama dari ruang laktasi adalah memberikan akses privasi bagi pekerja perempuan yang ingin memompa ASI.

Dampaknya, tak sedikit pekerja perempuan yang enggan untuk menggunakan ruang laktasi untuk memompa ASI. Alih-alih menggunakan ruang laktasi, pekerja perempuan justru beralih ke toilet untuk memompa ASI.

"Sebagai orang dewasa, kita tentu tidak ingin makanan kita diolah di toilet, begitu juga dengan bayi," papar Ray.

Selain tidak menjadikan ruang laktasi sebagai ruang 'multifungsi', ruang laktasi juga perlu memenuhi kriteria sesuai dengan Permenkes Nomor 15 Tahun 2013. Dalam Permenkes tersebut dijelaskan bahwa ruang laktasi perlu dilengkapi oleh kursi yang nyaman untuk memompa ASI dan memiliki fasilitas lemari pendingin sebagai tempat penyimpanan ASI perah. Ruang laktasi juga sebaiknya terletak di area yang mudah dijangkau.

"Terus punya pengairan yang bagus, pencahayaannya harus bagus," ungkap Ray.

Model Basrowi Dkk juga melibatkan konselor laktasi okupasi di tempat kerja untuk memberikan pelayanan konseling secara langsung kepada pekerja perempuan. Konseling atau edukasi diberikan melalui pemanfaatan teknologi seperti menggunakan aplikasi, membuat grup Whatsapp dan mengirimkan broadcast setiap hari. Konselor laktasi okupasi juga terbuka 24 jam untuk melayani pertanyaan maupun memberikan motivasi bagi pekerja perempuan yang sedang menyusui.

Menurut rekomendasi ahli, cara-cara seperti ini jauh lebih efektif dalam meningkatkan keberhasilan ASI eksklusif pada pekerja perempuan dibandingkan sekedar melakukan edukasi melalui poster, kelas maupu leaflet.

Ray mengatakan sebagian perusahaan mungkin akan melihat penerapan model promosi laktasi sebagai sebuah pembiayaan. Padahal, penerapan model promosi laktasi di lingkungan tempat kerja dapat menjadi sebuah investasi yang menguntungkan perusahaan.

Dengan keleluasaan, pengaturan waktu dan fasilitas ruang laktasi yang baik, praktik memompa ASI di lingkungan kerja justru dapat memberi dampak positif bagi perusahaan. Ray mengatakan penerapan Model Basrowi Dkk ini berhasil meningkatkan produktivitas kerja sebanyak 16 persen dan meningkatkan target pencapaian kerja sebanyak 21 persen pada kelompok perempuan pekerja yang menyusui.

"Menerapkan model promosi laktasi di tempat kerja ini bukan pembiayaan, ini investasi. Yang untung perusahaan dan pekerja," jelas Ray.

Ray menambahkan, para bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu pekerja juga menghadapi perjuangan yang lebih berat karena harus ditinggal oleh sang ibu bekerja. Oleh karena itu, jangan sampai bayi-bayi ini juga harus kehilangan haknya untuk mendapatkan ASI eksklusif hanya karena ibu mereka tak mendapatkan keleluasaan untuk memompa ASI di lingkungan tempat kerja.

"Angka ASI eksklusif itu penting karena itu merupakan indikator keberhasilan status kesehatan suatu bangsa," tutur Ray.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement