REPUBLIKA.CO.ID, MEDFORD -- Diet puasa atau intermittent fasting menjadi salah satu metode pengaturan pola makan yang populer di banyak kalangan. Selebritas Hollywood, pejabat eksekutif Silicon Valley, dan para influencer Instagram sudah menjajal metode ini.
Mereka yang memilih metode diet puasa biasanya tidak makan selama 16 jam hingga satu hari penuh. Banyak studi menyebut diet ini efektif mengendalikan berat badan, juga mencegah penyakit jantung, diabetes, Alzheimer, sertaa kanker.
Beberapa riset menunjukkan potensi diet memperpanjang harapan hidup. Akan tetapi, sejumlah pakar kesehatan yang memperingatkan risiko serta efek samping dari diet puasa. Sebab, sederet studi yang sudah dilakukan mayoritas dilakukan kepada fauna.
Adapun riset yang melibatkan manusia lebih melihat indikator kesehatan seperti kadar glukosa daripada hasil kesehatan aktual. Studi juga hanya berlangsung selama periode beberapa bulan. Belum ada penelitian jangka panjang terkait diet puasa.
Profesor madya di bidang nutrisi, Sai Das, menyatakan bahwa diet puasa belum bisa disebut benar-benar aman dilakukan semua orang. Dia adalah pengajar di Sekolah Ilmu dan Kebijakan Nutrisi Friedman, Universitas Tufts, Medford, Massachusetts, Amerika Serikat.
Menurut Das, orang yang rentan mengidap gangguan makan tidak boleh melakoni diet puasa. Faktor risiko lain termasuk orang yang anggota keluarganya punya gangguan makan, perfeksionisme, impulsif, dan ketidakstabilan suasana hati.
Kelompok lain yang tidak dianjurkan melakukan diet itu antara lain yang berusia kurang dari 18 tahun, memiliki kebutuhan kalori tinggi, dan berat badan di bawah rata-rata. Pengidap diabetes termasuk yang dilarang karena diet ini bisa berdampak pada kadar gula darah.
Das mengingatkan bahwa diet puasa akan membuat seseorang merasa lapar berlebihan, mengalami dehidrasi, kelelahan, peningkatan stres, dan pola tidurnya terganggu. Pelaku diet puasa juga akan lebih emosional karena efek biokimia yang mengatur suasana hati.
"Sebelum menjalani diet puasa, berkonsultasilah terlebih dulu dengan dokter pribadi. Terutama, jika Anda berusia lebih dari 65 tahun dan punya risiko tinggi komplikasi masalah kesehatan," kata Das, dikutip dari laman Men's Health.