REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan penderita kanker serviks (mulut rahim) terbanyak di dunia. Padahal, dengan skrining angka tersebut bisa ditekan dan membuat proses perkembangan virus bisa ditahan.
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan konsultan onkologi ginekologi RS Pondok Indah Fitriyadi Kusuma menjelaskan, skrining menjadi hal yang penting dilakukan untuk terhindar dari kanker serviks. Sejak aktif berhubungan seksual, pemeriksaan setiap tahun diperlukan untuk memantau kondisi organ kewanitaan.
Saat ini, terdapat beberapa tes yang bisa dilakukan untuk mendeteksi lesi pra-kanker. Terdapat Tes IVA, Papsmear, Tes DNA HPV, dan Kolposkopi yang bisa dipilih sesui kebutuhan. Contoh saja, tes IVA yang merupakan pemeriksaan yang paling mudah, murah, dan tidak membutuhkan tempat khusus. Cukup dengan mulut rahim dibalur dengan asam cuka (25 persen) kemudian reaksi yang terjadi bisa langsung dianalisa.
Berbeda dengan papsmear. Tes ini dilakukan dengan pengambilan contoh sel-sel yang dilepaskan (eksfoliasi) dari lapisan epitel serviks, yang akan tampak tidak normal kalau terjadi perubahan karena infeksi HPV, lesi pra kanker atau kanker, jika diperiksa di laboratorium. “Selain pemeriksaan rutin, yang juga perlu dilakukan adalah melakukan vaksinasi HPV. Vaksin HPV membantu mencegah infeksi high-risk HPV (sub-tipe 16 dan 18) yang menyebabkan kanker serviks," katanya.
Manfaat vaksin ini secara maksimal dapat diperoleh apabila seseorang belum pernah melakukan hubungan seksual. Namun, bagi perempuan yang sudah menikah atau pernah berhubungan seksual, vaksin juga bermanfaat.
Sebab, belum tentu seseorang tersebut pernah terpapar oleh virus HPV dengan sub-tipe yang dapat dicegah oleh vaksin (HPV sub-tipe 6, 11, 16 dan 18). Vaksinasi dapat dilakukan oleh perempuan berusia mulai usia sembilan sampai 55 tahun. Masa terbaik adalah pada sembilan sampai 12 tahun. Vaksinasi akan dilakukan tiga kali, nol bulan, satu-tiga bulan, dan enam bulan.