Sabtu 23 Feb 2019 17:52 WIB

Olahraga Bisa Atasi Penat Terbang

Olahraga dapat melawan efek negatif gangguan irama sirkadian.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Penumpang di dalam pesawat.
Foto: EPA
Penumpang di dalam pesawat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ritme sirkadian yang merupakan perubahan fisik, mental, dan perilaku yang mengikuti siklus harian mengatur tubuh manusia. Cahaya dan kegelapan adalah faktor utama yang mempengaruhi ritme sirkadian.

Sekelompok sel saraf di otak menerima informasi tentang jumlah cahaya melalui saraf optik, memberitahu otak untuk membuat mengantuk dengan melepaskan hormon tidur melatonin. Namun, ketika pergi ke zona waktu yang berbeda atau bekerja pada shift malam, tubuh mengacaukan ritme sirkadian ini.

Baca Juga

Beberapa efek buruk gangguan tersebut, termasuk insomnia dan kelelahan, masalah fokus, sakit kepala, dan masalah pencernaan. Saat ini tidak ada perawatan untuk efek buruk penat terbang (jet lag) atau kerja shift malam. Para peneliti sedang mencoba untuk merancang terapi baru.

Sebagai contoh, satu penelitian baru-baru ini menemukan retina mengandung beberapa sel yang mengeluarkan vasopresin, hormon lain yang membantu mengatur ritme sirkadian. Mengubah jalur pensinyalan vasopresin mungkin suatu hari nanti mengarah ke pembuatan tetes mata yang bisa mengimbangi efek penat terbang.

Tapi, bagaimana untuk mengobati penat terbang tanpa obat-obatan? Bagaimana jika cahaya bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi ritme sirkadian?

Peneliti dari College of Nursing and Health Innovation dan College of Health Solutions di Arizona State University di Phoenix Shawn Youngstedt melakukan studi tentang penat terbang. Penelitian bersama rekan-rekannya menemukan olahraga dapat melawan efek negatif gangguan irama sirkadian.

"Olahraga telah diketahui menyebabkan perubahan pada jam tubuh kita. Kami mampu menunjukkan dengan jelas dalam penelitian ini ketika olahraga menunda jam tubuh dan ketika itu memajukannya," ujar Youngstedt, dikutip dari Medical News Today, Sabtu (23/2).

photo

Youngstedt meneliti efek olahraga pada 51 partisipan yang cocok secara aerobik berusia 59-75 tahun dan 48 partisipan studi berusia 18-30 tahun. Mereka mengukur ritme sirkadian peserta dan bagaimana olahraga memengaruhi mereka selama 5,5 hari.

Secara khusus, 99 relawan semuanya melakukan satu jam latihan treadmill selama tiga hari berturut-turut di salah satu dari delapan waktu yang berbeda pada siang atau malam hari. Para ilmuwan menentukan jam tubuh dasar para peserta dengan menganalisis sampel urine dan menentukan kadar melatonin.

Tubuh melepaskan melatonin dalam jumlah yang berbeda pada waktu yang berbeda dalam sehari. Hormon memuncak di malam hari dan turun di pagi hari. Dengan mengambil sampel dari sukarelawan setiap 90 menit, para peneliti mengidentifikasi waktu yang tepat ketika melatonin mereka naik dan turun sepanjang hari.

Berolahraga pukul 07.00  atau antara 01.00 dan 16.00 menggeser ritme sirkadian ke waktu sebelumnya, sambil melakukan olahraga antara pukul 19.00 dan 22.00 mendorong jam tubuh kembali. Usia atau jenis kelamin tidak mempengaruhi hasil ini. Di sisi lain, berolahraga antara pukul 01.00 sampai 04.00 atau pukul 10.00 tidak mempengaruhi kadar melatonin mereka.

"Ini adalah studi pertama yang membandingkan efek latihan pada jam tubuh, dan bisa membuka kemungkinan menggunakan latihan untuk membantu melawan efek negatif penat terbang dan kerja shift," ujar Youngstedt.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement