REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kini tengah mengembangkan vaksin demam berdarah dengue (DBD) untuk akhirnya bisa diproduksi mandiri. Pengembangan masih berada di tahap praklinis pada hewan.
"Kemenkes mengembangkan vaksin DBD, jadi bagian protein di kulit virus (dengue penyebab DBD) dikembangkan menggunakan pendekatan genetik rekombinan," kata Kepala Badan Litbang Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes Siswanto saat ditemui usai mengisi Rapat Kerja (Raker) Badan Litbangkes dan pameran hasil Litbangkes, di Bekasi, Jawa Barat, Senin (11/3).
Saat ini, dia melanjutkan, pengembangan vaksin masih di tahap praklinis pada hewan tikus mencit untuk memastikan apakah menghasilkan antibodi atau imun. Setelah itu masuk di uji klinis fase 1, uji klinis fase 2, dan akhirnya diproduksi.
Rencananya, pihaknya menggandeng Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penghasil vaksin Biofarma untuk membuat vaksin DBD tersebut. Kendati demikian, ia menambahkan, Kemenkes tidak dapat memastikan kapan Indonesia bisa menghasilkan vaksin DBD. Alasannya, jalan untuk bisa memproduksi vaksin tersebut masih panjang.
"Mungkin bisa 7-10 tahun lagi," ujarnya.
Jika pengembangan vaksin DBD berhasil diuji coba, pihaknya juga belum mengetahui apakah akan dimasukkan dalam program nasional. Sebab, dia melanjutkan, meski instruksi presiden (Inpres) telah menyebutkan tentang kemandirian obat dan alat kesehatan tetapi Kemenkes masih harus menggelar konsorsium dengan pihak terkait.
"Konsorsium bersama yang melibatkan Balitbangkes, universitas-universitas seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB) hingga industri," ujarnya.
Sebelumnya Kemenkes menegaskan vaksin untuk penyakit demam berdarah dengue (DBD) belum dimasukkan dalam program nasional pemerintah Indonesia karena belum diyakini efektivitasnya. "Tidak, (vaksin DBD) belum dimasukkan dalam program nasional karena belum diyakini efektivitas dan efisiensinya," ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Anung Sugihantono, Selasa (5/2).
Efektivitas vaksin buatan perusahaan farmasi PT Sanofi Pastuer tersebut harus dikaji dan diuji dulu. Apalagi, vaksin serupa yang terlebih dahulu ada di Filipina setelah beredar selama dua tahun ternyata izinnya dicabut.
"(Pencabutan izin vaksin DBD di Filipina) juga pasti jadi pertimbangan," katanya.