REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyakit ginjal kronis (PGK) telah menjadi epidemi global yang menjadi momok di berbagai negara. Angka kejadian PGK cenderung lebih tinggi di negara berkembang.
"Diperkirakan satu dari 10 orang di dunia mengalami penyakit ginjal kronis," ungkap Ketua Umum PB Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PB Pernefri) dr Aida Lydia PhD SpPD KGH dalam peringatan Hari Ginjal Sedunia bersama Fresenius Medical Care, di Jakarta.
Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 juga menunjukkan adanya peningkatan prevalensi PGK dari 1,8 persen pada 2013 menjadi 3,8 persen pada 2018. Beban negara untuk menanggung biaya prosedur dialisis bagi pasien PGK yang sudah mengalami gagal ginjal pun sangat besar, yaitu 3,1 triliun untuk 3.657.691 prosedur dialisis pada 2017.
PGK merupakan suatu kondisi di mana ginjal sudah mulai mengalami kerusakan dan penurunan fungsi. Berdasarkan kemampuan kerja ginjal, PGK dapat dibagi ke dalam lima stadium di mana stadium 1 merupakan stadium paling ringan dan stadium 5 merupakan kondisi gagal ginjal.
Yang cukup menyulitkan, gejala-gejala PGK umumnya baru muncul ketika fungsi ginjal sudah sangat menurun. Oleh karena itu, PGK seringkali terlambat terdeteksi.
"Penurunan fungsi ginjal jarang bergejala," jelas Aida.
Meski jarang bergejala di awal, bukan berarti kondisi PGK tak bisa dideteksi secara dini. Kondisi PGK bisa ditemukan lebih awal melalui skrining. Skrining ini bisa dilakukan dengan melakukan pemeriksaan fungsi ginjal untuk mengetahui ada atau tidaknya penurunan fungsi ginjal sejak dini.
Fungsi ginjal bisa diketahui melalui pemeriksaan darah maupun tes urine. Pada pemeriksaan darah, yang dilihat adalah kadar kreatinin, ureum dan laju filtrasi glomerulus (GFR). Pada pemeriksaan urine, yang dilihat adalah kadar albumin dan sel darah merah.
Skrining sangat dianjurkan khususnya pada kelompok yang memiliki faktor-faktor risiko dari PGK. Faktor risiko ini ada yang tidak bisa dimodifikasi seperti usia dan faktor genetik atau riwayat keluarga.
Namun, ada pula faktor risiko yang bisa dimodifikasi seperti kebiasaan merokok, obesitas, kadar gula darah yang tinggi atau diabetes serta hipertensi. Diabetes dan hipertensi merupakan penyebab terbesar dari PGK.
"Bagian yang bisa dimodifikasi ini bisa kita kelola dan sangat besar pengaruhnya," ungkap koordinator Pernefri wilayah Jakarta dan sekitarnya sekaligus ketua Indonesian Society of Hypertension (InaSH) dr Tunggul Diapari Situmorang SpPD KGH Dipl/MMedSi FINASIM.
Penting bagi setiap orang untuk mengenali ada atau tidaknya faktor risiko PGK. Orang-orang yang memiliki faktor risiko sebaiknya segera melakukan terapi agar tidak berkembang menjadi PGK.