REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serangan teroris di Christchurch, Selandia Baru berpotensi menyebabkan gangguan psikologis pada kelompok masyarakat tertentu. Pengungsi dari zona konflik, mereka yang pernah mengalami peperangan, penganiayaan, penahanan, dan peristiwa traumatis lainnya dianggap lebih rentan mengalami terhadap efek jangka panjang dari stresor selanjutnya, seperti serangan Christchurch.
Dilansir Stuff, Rabu (20/3), ada banyak risiko gangguan psikologis yang bisa dialami oleh para saksi dan korban pasca serangan teroris yang menewaskan 50 orang Muslim tersebut. Tentu saja, orang-orang yang paling mungkin terkena dampak dalam jangka panjang adalah korban langsung dari serangan, anggota keluarga, dan teman-teman mereka, jamaah di masjid-masjid, dan juga personel layanan darurat yang menanggapi insiden tersebut.
Salah satu potensi gangguan psikologis yang bisa menimpa mereka adalah post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca trauma. PSTD adalah kondisi kejiwaan yang dipicu oleh kejadian tragis yang pernah dialami dan disaksikan.
PTSD termasuk kategori gangguan kecemasan yang membuat penderitanya seolah berulang kali dibawa kembali ke momen traumatis. Ingatan-ingatan yang muncul pada penderita PSTD biasanya disertai dengan tekanan ekstrem yang mengakibatkan penderita PSTD mengalami kecemasan, kurang tidur, ledakan amarah, dan konsentrasi yang buruk.
Meski demikian, merujuk pada beberapa penelitian sebelumnya tentang serangan teroris, kebanyakan orang disebut akan beradaptasi dari waktu ke waktu dan melanjutkan kesehatan mental yang baik. Namun, sekitar 10-20 persen dari mereka yang terkena dampak cenderung mengembangkan PTSD menjadi gangguan kesedihan berkepanjangan.
Korban, keluarga serta teman-teman korban juga berpotensi menghadapi risiko itu. Gangguan mental ini bisa dapat didiagnosis ketika seseorang mengalami kesedihan akut dalam jangka panjang, yang menghambat fungsi kemampuan anggota tubuh dan pikiran.
Lalu bagaimana untuk memulihkan PTSD? Salah satu cara untuk pulih datang dari dukungan sosial dari lingkungan dan mencoba untuk mencurahkan kesedihan kepada orang-orang terdekat yang dipercaya.
Dalam kasus serangan teroris Christchurch, masjid menyediakan jaringan dukungan sosial alami di mana jamaah dapat bertemu, berbagi, dan mendukung satu sama lain. Namun, jika gangguan mental tidak mereda, ada baiknya berkonsultasi dengan psikiater.
Korban selamat penembakan di Masjid Christchurch, Zaed Mustafa (di kursi roda) saat berada di pemakaman adiknya Hamza dan ayahnya Khalid Mustafa di Memorial Park Cemetery, Christchurch, Selandia Baru, Rabu (20/3).
Sementara itu, untuk orang-orang dengan stres atau reaksi kesedihan yang berkepanjangan, mereka disarankan untuk menemui psikolog klinis yang berspesialisasi dalam terapi perilaku kognitif (CBT) yang berfokus pada trauma. Pedoman kesehatan mental klinis merekomendasikan CBT yang berfokus pada trauma untuk orang dengan reaksi stres persisten setelah trauma dan juga untuk kesedihan yang berkepanjangan. Intervensi ini biasanya relatif singkat, membutuhkan sekitar 10 sesi dengan terapis.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern telah mengumumkan dukungan dan pendanaan tambahan untuk layanan kesehatan mental di Christchurch. Hal ini diharapkan bisa menghilangkan beberapa masalah yang dialami penyintas, keluarga, dan teman-temannya untuk mengakses perawatan kesehatan mental yang berkualitas.