REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kutil kelamin atau genital warts pada dasarnya merupakan tumor jinak kulit yang terletak di sel basal epitel kulit. Seperti namanya, kutil kelamin tumbuh di aera anogenital yaitu di area kelamin serta area sekitar kelamin dan dubur.
Spesialis kulit dan kelamin dari Klinik Spesialis Kulit dan Kelamin Pramudia, Dian Pratiwi, menuturkan kutil kelamin memiliki beragam bentuk sehingga cukup sulit dikenali mata masyarakat awam. Salah satu bentuk kutil kelamin adalah flat atau datar. Bentuk kutil kelamin seperti ini yang sering kali tak disadari penderitanya.
Ada pula kutil kelamin berbentuk spiky atau menonjol-nonjol. Selain itu, ada kutil kelamin yang memiliki karakteristik gabungan antara flat dan spiky yang dikenal sebagai kutil kelamin cauliflower-like. Seperti namanya, kutil kelamin seperti ini memiliki penampakan yang menyerupai kembang kol.
Pada anus, kutil kelamin bisa tampak menyerupai pola kupu-kupu. Dalam tingkat yang lebih berat, ada yang dikenal sebagai kutil kelamin besar atau giant genital warts. Pada kasus ini, kutil kelamin tampak bertumpuk banyak dan besar di satu area.
Jika menemukan kasus kutil kelamin yang amat besar seperti ini, pemeriksaan laboratorium lebih lanjut perlu dilakukan. Alasannya, ada kecurigaan penderita tersebut juga terkena infeksi HIV.
"Ada kecurigaan orang ini HIV, karena seharusnya orang yang tidak HIV penyebarannya tidak segitu cepat dan tidak segitu besar," terang Direktur Klinik Spesialis Kulit dan Kelamin Pramudia Anthony Handoko.
Kutil kelamin dapat diobati dengan beragam modalitas oleh dokter spesialis kulit dan kelamin. Namun modalitas pengobatan yang dapat memberi angka kesembuhan hingga 100 persen menurut literatur adalah electrosurgery atau electrocautery dan laser surgery.
Pada electrocautery panas yang digunakan berasal dari panas listrik atau konduksi. Sedangkan pada laser surgery, panas yang digunakan untuk menghancurkan kutil kelamin berasal dari laser.
Meski dapat memberi angka kesembuhan hingga 100 persen, angka kekambuhan kutil kelamin di kemudian hari akan sangat bergantung pada kondisi masing-masing penderita. Karena itu, pasien tetap perlu melakukan kontrol setelah terapi pengobatan selesai dilakukan.
"Dalam 1-2 bulan setelah sembuh kemungkinan kambuh masih tinggi, jadi harus kontrol sampai benar-benar stabil atau virus tidak terdeteksi lagi," terang Anthony.