REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pola makan yang buruk telah membuktikan lebih banyak menjadi penyebab kematian daripada tembakau dan hipertensi, menurut penelitian terbaru yang diterbitkan di Lancet, belum lama ini. Disimpulkan bahwa pola makan yang lebih baik berpotensi mencegah satu dari lima kematian secara global.
Dikutip laman Indian Express, Senin (8/4), pada 2017, pola makan yang buruk setidaknya menyebabkan 11 juta kematian, baik terkait dengan konsumsi berlebihan makanan yang buruk atau asupan makanan yang tidak memenuhi gizi seimbang. Telah disimpulkan bahwa kurang buah-buahan dan kacang-kacangan, ternyata berdampak lebih buruk daripada kebanyakan makan daging.
Program pemerintah biasanya berfokus pada membatasi asupan makanan yang tidak sehat, seperti daging olahan, gula dan lemak trans. Jadi program dinilai kurang mendorong orang untuk makan lebih banyak makanan bergizi seperti biji-bijian (kacang-kacangan), buah-buahan dan sayuran. Membatasi makanan tidak sehat mungkin bukan pendekatan terbaik, menurut laporan sebuah studi baru tersebut.
Secara khusus, tiga faktor makanan utama, yaitu rendahnya konsumsi biji-bijian dan buah-buahan serta natrium yang tinggi menyumbang lebih dari setengah dari kematian terkait pola makan. Sementara konsumsi tinggi daging merah, daging olahan, lemak trans dan minuman yang dimaniskan dengan gula berkontribusi terhadap kematian global.
Kebijakan pemerintah yang mendorong makan sehat mungkin memiliki dampak lebih besar "Perlu ada transformasi sistem pangan," kata Dr. Ashkan Afshin, penulis utama studi ini dan asisten profesor di Institute for Health Metrics and Evaluation di University of Washington.
Dia menekankan peningkatan produksi dan makanan yang lebih baik, yaitu lebih banyak buah, sayuran dan kacang-kacangan, biji-bijian yang belum berkurang gizinya. Keberlanjutan lingkungan juga harus dipertimbangkan dalam meningkatkan sistem pertanian, termasuk dampak pada perubahan iklim, keanekaragaman hayati, penggunaan lahan dan air.
Para peneliti mengukur 15 faktor risiko pola makan yang berkaitan dengan asupan makanan dan nutrisi tertentu di antara orang dewasa 25 tahun atau lebih di 195 negara, menggunakan data dari sumber yang mencakup survei nutrisi nasional atau sub-nasional yang representatif. Data itu meliputi penjualan, makanan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB neraca dan Database Nutrisi Global. Para peneliti memilih faktor risiko berdasarkan ketersediaan data dan hubungannya dengan beban penyakit atau kebijakan.