REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hidup dengan hiperhidrosis atau keringat berlebihan memang tidak mudah. Pada ujung spektrum yang ringan, efeknya mungkin minimal - ketidaknyamanan kecil atau rasa malu kecil.
Seiring dengan meningkatnya keparahan, dampak pada kualitas hidup menjadi jauh lebih substansial. Direktur Institut Serikat Penelitian Ilmu Kesehatan, Universitas De Montfort, Louise Dunford, seperti dilansir laman The Sun, Rabu (24/4), menjelaskan kondisi tersebut dapat memiliki dampak besar pada kualitas hidup, memengaruhi pilihan karier orang dan mengarah ke isolasi sosial.
Akibat tangannya berkeringat, contohnya, orang akan kesulitan untuk memegang pena atau menggunakan keyboard. Orang dengan hiperhidrosis sering mengalami kecemasan dalam situasi kerja, seperti wawancara kerja atau pertemuan di mana mereka mungkin diharapkan berjabat tangan.
Kehidupan sosial mereka juga dapat terpengaruh, dengan banyak orang merasa malu dengan keringat mereka. Beberapa penderita hiperhidrosis juga menghindari membentuk hubungan intim karena hal ini. Ada pula yang harus berganti pakaian hingga beberapa kali karena bajunya basah oleh keringat.
Banyak orang dengan hiperhidrosis tidak mencari bantuan medis karena stigma kondisi tersebut. Mereka bahkan mungkin tidak tahu itu adalah kondisi medis sama sekali.
Mereka yang sering melaporkan kesulitan untuk dianggap serius, kurangnya akses ke spesialis, dan perawatan dianggap prioritas rendah.